FREE MARKET OF IDEAS

Mahasiswa Sebagai Agen intelektual sekiranya mampu menuangkan segala bentuk pemikiran positif guna menunjang terbentuknya pembangunan dalam segi pendidikan, ekonomi, sosial, maupun profesionalitas Namun kadang karena terperangkap kedalam suatu sistem pola fikir dogmatis hingga menimbulkan kerangkeng pemikiran yang akhirnya mengakibatkan phobia of mind, untuk itu kader-kader PMII harus mampu melawan hegemoni ketakuatan dan pola fikir dogmatis dengan free market of ideasnya Activies nothing statis, Mahasiswa harus kritis Stay movement to get revolution

Selasa, 22 Juni 2010

ORMAS KEAGAMAAN DALAM PEMBERDAYAAN POLITIK MASYARAKAT MADANI

ORMAS KEAGAMAAN DALAM PEMBERDAYAAN POLITIK MASYARAKAT MADANI

Demokrasi yang membuka keran kebebasan berpartai, seyogyanya
membuka peluang bagi Parpol untuk menjadi wadah artikulasi kepentingan
rakyat dalam mencapai kesejahteraannya. Ketika Parpol gagal melakukan hal
itu maka Ormas keagamaan menjadi wadah alternatif yang bisa berperan sebagai
struktur mediasi (Mediating streucture) yang menjembatani kepentingan Negara
dan masyarakat. Dan secara historis peran politik ormas keagamaan yang sangat
strategis telah dimainkan oleh dua ormas besar di Indonesia, NU dan
Muhammadiyah.

PENDAHULUAN
Salah satu persoalan yang menjadi fokus perhatian dalam
pemberdayaan masyarakat di Indonesia (khususnya) adalah realitas
kemiskinan yang melanda warga bangsa dalam bentuknya yang
memprihatinkan. Angka kemiskinan negeri ini mengalami peningkatan
pasca terjadinya krisis ekonomi yang di mulai pada tahun 1997, dan juga
tak kunjung teratasi hingga beberapa tahun kemudian(Djiwandono, 2001
: 3-4) Realitas kemiskinan diyakini bukan sekedar sebuah produk kultur
yang melekat dalam kehidupan masyarakat, tetapi memiliki korelasi
signifikan dengan kebijakan politik-ekonomi pemerintahan yang kurang
memberi ruang kesempatan kepada mayarakat miskin untuk keluar dari
jeratan situasi yang membuat mereka miskin(Jalaluddin Rahmat, 2000:65).
*) Dosen Fakultas Dakwah IAIN Raden Intan Bandar Lampung,
Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
6
Kebijakan politik-ekonomi pemerintah diperparah oleh struktur
ekonomi global yang kapitalistik, yang hanya memberi ruang kesempatan
luas kepada pemilik modal sehingga karenanya secara tidak terkendali
melakukan monopoli pasar dan penguasaan produksi dari hulu hingga
hilir. Dominasi ekonomi kapitalistik ini nampaknya terus berlangsung
seiring dengan laju perkembangan globalisai dengan segala perangkat
system dan teknisnya. Dan jika kondisi ini terus berlangsung maka citacita
dan keinginan untuk mengentaskan rakyat miskin dari jeratan problem
kemiskinan yang dihadapi akan semakin menemukan kendala yang
rumit. Problem kemiskinan inipun akan meniscayakan timbulnya aneka
problema sosial budaya dan bahkan problem politik yang saling tumpang
tindih, antara satu dengan yang lain akan saling mempengaruhi.
Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah , sejatinya
merupakan implementasi dari cita-cita kemerdekaan, “mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur”,yang terbebas dari jeratan
kemiskinan. Namun realitasnya pembangunan yang telah dilaksanakan
dalam beberapa dasawarsa belum memenuhi harapan dimaksud. Ada
beberapa sisi lemah dari aktifitas pembangunan (development) yang
dilaksanakan oleh pemerintah sehingga melahirkan beberapa paradoks :
Pertama, sebagai implementasi dari ideologi developmentalisme,
pembangunan lebih menekankan pada pembangunan ekonomi berupa
pertumbuhan ekonomi, dengan mengesampingkan aspek-aspek lainnya
terutama aspek sosial dan aspek politik. Dalam aspek politik beberapa
kebijakan yang dibuat justru berkecenderungan pada depolitisasi
masyarakat (terutama masyarakat akar rumput), sehingga masyarakat
tidak memiliki ruang untuk melakukan kontrol terhadap berbagai
kebijakan pembangunan. Tersumbatnya ruang kontrol publik melahirkan
otoritas birokrasi tanpa batas dan pemerintah masa lalu seringkali
memperlihatkan prilaku pemerintahan yang otoriter. Kedua, Pemilihan
tehnik trickle down effect (efek mengalir dari atas ke bawah) telah menafikan
partisipasi (peran serta) substantif masyarakat (publik). Akibat yang tak
terelakkan dari hal tersebut adalah ketergantungan masyarakat pada
negara. Hal ini karena negara mengambil peran yang sangat besar dalam
melakukan regulasi berbagai aspek kehidupan publik. Dalam banyak hal
telah terjadi disfungsioanalisasi instusi-instusi tradisional yang lahir dari
rahim sejarah dan kultur masyarakat.
Dalam perspektif ekonomi pertanian khususnya, peran dan fungsi
negara yang tegak atas dasar mode of production kapitalisme telah
melahirkan realitas sosial yang kontroversial, sehingga seperti yang
disinyalir oleh Cliffort geertz, disatu pihak ia telah melahirkan kelas borjuis
dan dipihak lain ia telah menghancurkan sistem dan struktur sosial
7
Volume 4, Nomor 1, Juni 2008
tradisional dan menciptakan kemiskinan di kalangan masyarakat
desa(Gertz, 1976 : 65).Kebijakan pembangunan yang “serba negara”
seperti yang dipaparkan di atas menyimpan kelemahan mendasar,
sehingga seiring dengan tuntutan perubahan yang diinginkan masyarakat,
pemerintah orde reformasi(Maroto & Anwari, 202 : vii) telah melakukan
koreksi dan perubahan kebijakan yang fundamental. Dalam demokratisasi
politik misalnya, selain telah terjadi perubahan struktur kelembagaan MPR
dan DPR, masyarakat telah menikmati kebebasan pers, kebebasan
melakukan unjuk rasa, perubahan sistem pemilihan umum, perubahan
pada sistem kepartaian dan reposisi TNI dalam tatanan politik negara.
Salah satu perubahan yang cukup menonjol dalam pemerintahan
orde reformasi adalah terciptanya demokratisasi politik dalam bentuk
kebebasan membentuk partai-partai politik. Keberadaan partai politik
idealnya menjadi ruang artikulasi aspirasi maupun kepentingan rakyat
yang menjadi target reformasi. Kebijakan baru ini kemudian melahirkan
eforia politik berupa bergeloranya semangat demokrasi, dimana respon
yang sangat menonjol adalah bangkitnya semangat kompetitif untuk
melahirkan partai-partai baru dengan identitas ideologis dan tujuan yang
beragam. Kemunculan parpol baru secara teoritik merupakan sebuah
pranata penting dalam pemberdayaan politik masyarakat pasca era
pemerintahan yang cenderung otoriter. Hanya saja realitasnya bahwa
partai-partai politik belum effektif menjalankan fungsinya sebagai
kekuatan yang mengartikulasikan kepentingan masyarakat. Arbi Sanit
misalnya mensinyalir bahwa pada era reformasi kekuatan masyarakat
sesungguhnya memegang momentum untuk mempunyai giliran
mengelola negara dengan mempercayakan tugas itu kepada partai.
Berakhirnya rezim otoriter, secara otomatis meminta kehadiran yang
sebesar-besarnya peran partai-partai politik yang secara hakiki merupakan
representasi politik masyarakat(Arbi Sanit, 2002: 165). Namun realitasnya
tugas partai politik dimaksud belum terwujud sebagaimana yang menjadi
tuntutan. Partai-partai politik yang ada dalam banyak hal masih terfokus
pada upaya konsolidasi internal dan perebutan kekuasaan yang diyakini
sebagai tahapan kunci dalam membangun kekuatan dan masa depan
partai. Di hadapan partai politik, masyarakat terkesan hanya diposisikan
sebagai objek mobilisasi untuk kepentingan parpol itu sendiri.
Belum berfungsinya parpol sebagaimana seharusnya menghendaki
adanya kekuatan alternatif, dan organisasi sosial serta LSM secara historis
telah memperlihatkan fungsi alternatifnya dalam melakukan hal itu7. LSM
dan Ormas, ormas keagamaan khususnya telah memposisikan diri sebagai
kekuatan masyarakat yang mampu membangun posisi tawar (bargaining
position) politik masyarakat di hadapan negara. Ormas keagamaan
Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
8
sebagai lembaga non-Pemerintah diharapkan dapat memenmpati posisi
sebagai institusi yang di samping menjadi kekuatan peyeimbang, juga
memiliki kemampuan untuk melakukan pemberdayaan (empowering)
masayarakat, membangun kekuatan politik, ekonomi sosial dan budaya.
Ketika organisasi poltik formal belum memainkan peran yang memadai
dalam melakukan penyeimbangan kekuasaan (balance of power) maka
institusi-institusi masyarakat yang terlahir dari dan untuk masyarakat
bisa minimal untuk sementara waktu, menggantikan posisi orpol dalam
membangun poisisi tawar (bargaining posistion) masyarakat.
Tulisan ini bermaksud menelaah fungsi dan peran dimainkan oleh
ormas keagamaan dalam pemberdayaan politik yang secara teoritik
merupakan pranata penting dalam merealisasikan cita-cita mewujudkan
Masyarakat Madani seperti kerap diungkapkan, baik dalam wacana sosial
maupun politik.
ESSENSI DAN FUNGSI ORMAS KEAGAMAAN
Untuk dapat memahami fungsi organisasi sosial keagamaan, maka
memahami essensi organisasi itu sendiri merupakan hal yang penting
untuk dilakukan terutama untuk menghindari bias pemahaman. Menurut
Sondang P Siagian(1976 : 20), organisasi adalah sekumpulan orang yang
bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama dan terlibat secara formal
dalam satu ikatan hirarki dimana terdapat hubungan antara pemimpin
dengan yang dipimpin. Beberapa ilmuan seperti Chester Bernard, Kootz,
Kate dan Kahn, Myess dan Myers serta Talcot Parson sebagaimana dikutip
oleh Ruwiyanto (1998 : 27) mendifinisikan organisasi sebagai suatu unit
sosial yang berupa wadah suatu kelompok atau beberapa kelompok orang
guna melakukan kegiatan yang terorganisasikan, dengan pembagian
tugas, wewenang dan tanggung jawab, dan peranan atas anggotaanggotanya
serta menetapkan hubungan antara peranan yang dibentuk
secara terstruktur dalam mencapai tujuan.
Secara empirik organisasi terbentuk atas dasar kebutuhan untuk
mengorganisir diri dalam mencapai tujuan tertentu. Tujuan yang telah
dirancang dan disepakati oleh pendiri organisasi dimaksud menentukan
corak dan bentuk organisasi yang dibentuk. Kompleksitas perkembangan
budaya masyarakat dalam reaslitasnya telah meningkatkan kesadaran
untuk berorganisasi atau menghimpun diri, sehingga dalam
perkembangannya beragam organisasi muncul sebagai wadah perjuangan
masyarakat. Dan dalam konteks ke-Indonesiaan, salah satu bentuk
organisasi yang ada dan berkembang adalah organisasi sosial
kemasyarakatan, yang memiliki karakteristik tersendiri. Organisasi sosial
kemasyarakatan merupakan organisasi sosial (non-profit), yang dibentuk
9
Volume 4, Nomor 1, Juni 2008
oleh masyarakat (warga) secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan,
profesi, fungsi, agama dan kepercayaan, untuk berperan serta dalam
pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional. Dalam
kenyataannya organisasi kemasyarakatan di Indonesia muncul dalam
beberapa bentuk : Organisasi Politik, Organisasi Ekonomi, Organisasi
Sosial, dan Organisasi Keagamaan.
Organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan menempati
posisi yang khas dibandingkan dengan organisasi umumnya, pertama
bahwa secara khusus Ormas Keagamaan dibentuk bukan untuk mencari
keuntungan apalagi yang bersifat material finansial, kedua bahwa
organisasi sosial keagamaan berada di luar wilayah organisasi
pemerintah, ketiga bahwa dalam kegiatannya ia lebih memusatkan
sasarannya pada kepentingan anggota (masyarakat) serta keempat
keanggotaannya bersifat masif(Efzioni, 1982 : 3)
Fungsi organisasi sosial keagamaan dapat digambarkan dan
dibayangkan dengan meminjam teori analisis fungsi yang dikemukakan
oleh seorang sosiolog yang bernama Robert K Berton. Menurut Berton,
Analisis fungsi bisa dilakukan dengan melihat apa yang ingin dicapai
atau tujuannya, maupun akibat yang tidak secara langsung ditimbulkan12.
Dengan berpegang pada teori ini, maka fungsi organisasi juga bisa dilihat
dari tujuan yang ingin dicapai organisasi dan akibat atau dampak tidak
langsung yang timbul akibat keberadaan gerakan atau kegiatan organisasi
itu. Secara umum tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi sosial
kemasyarakatan adalah untuk “mewujudkan kesejahteraan anggotanya,
yang tidak hanya terbatas pada kesejahteraan material finansial, tapi juga
mencakup aspek-aspek lain yang menjadi fokus kegiatan”. Untuk
mencapai tujuan yang bersifat makro tersebut, maka organisasi sosial
keagamaan menjadikan beberapa faktor sebagai proses sekaligus
jangkauan gerakannya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat
yang bersifat makro. Beberapa faktor penting yang dimaksud adalah
sebagaimana teori Cox (2001) yang dikutip oleh Isbandi Rukminto
Adi(2002:123), bahwa kesejahteraan masyarakat dipengaruhi oleh
beberapa domain penting yang meliputi : Faktor Ekonomi, Faktor Politik,
Faktor Hukum, Faktor Budaya, Faktor Ekologi dan Faktor Sosial. Dalam
prakteknya, organisasi sosial keagamaan (di Indonesia khususnya) pada
umumnya menjadikan seluruh domain dimaksud sebagai satu kesatuan
yang tak terpisahkan dalam mewujudkan kesejahteraan itu dan sekaligus
dijadikan sebagai misi organisasi.
Tentu saja dalam konteks pemberdayaan masyarakat untuk
mewujudkan kesejahteraan sosial ekonomi, organisasi sosial keagamaan
bukanlah pemain tunggal. Pemerintah sebagai pemegang mandat
Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
10
penyelenggaraan kehidupan masyarakat memegang kendali utama.
Dalam hal ini organisasi sosial keagamaan berfungsi sebagai mitra strategis
pemerintah, yang dalam perspektif akademik oleh Heru Nugroho disebut
sebagai Struktur Mediasi (Mediating structure). Istilah Struktur Mediasi
didefinisikan sebagai “lembaga yang mempunyai posisi di antara wilayah
kehidupan individu secara privat dengan lembaga-lembaga makro yang
berhubungan dengan kehidupan publik”(Heru Nugroho, 2000 : 195).
Sebagai Struktur Mediasi, maka organisasi sosial keagamaan berperan
menjadi struktur antara yang menjembatani kepentingan masyarakat luas
dan pemerintah. Dalam perspektif teori ini, maka menguatnya organisasi
sosial (keagamaan) merupakan indikasi menguatnya posisi tawar (bargaining
positions) mayarakat (rakyat) di hadapan negara. Sejalan dengan
teori ini penguatan posisi masyarakat (pemberdayaan masyarakat) dapat
dilakukan dengan melakukan penguatan organisasi masyarakat (orsos,
orsos keagamaan).
Konsep dan Pengembangan Masyarakat Madani
Terma masyarakat madani merupakan salah satu terma yang
dipakai sebagai konseptualisasi sebuah masyarakat ideal yang diharapkan.
Melihat istilah atau kata yang dipakai, dapat diduga bahwa terma itu
berasal dari kultur budaya masyarakat Arab yang belandaskan setting
sosio-historis masyarakat di zaman Nabi Muhammad SAW. Istilah itu
diterjemahkan dari bahasa Arab “Mujtama’ madani” yang diperkenalkan
pertama kali oleh Profesor Naquib al-Attas, seorang ahli sejarah dan
peradaban Islam dari Malaysia, pendiri sebuah lembaga yang bernama
Institute for Islamic Thought and Civilation (ISTAC) yang diseponsori oleh
Anwar Ibrahim (Republika, 1998 : 2). Dalam wacana yang berkembang,
beberapa ilmuan dan intelektual secara konsisten memakai istilah
“Masyarakat Madani” sekalipun antara satu dengan yang lain memiliki
perbedaan pendangan dalam merumuskan makna dan model masyarakat
yang dimaksud.
Nurcholish Madjid (2000 : 80) mendefinisikan Masyarakat Madani
sebagai “masyarakat yang sopan, beradab dan teratur” dalam bentuk
negara yang baik16. Menurutnya Masyarakat Madani dalam semangat
modern tidak lain dari civil siciety”, karena kata “madani” menunjuk
pada makna peradaban atau kebudayaan. Dalam kaitan dengan
persatuan kata “Madany” dengan Madinah (sebagai sebuah kota) yang
merupakan simbol sebuah masyarakat politik yang lahir di tengah
peradaban Islam, maka menurutnya bukanlah sebuah kebetulan bahwa
wujud nyata dari masyarakat Madani itu ada dalam sejarah Islam yang
11
Volume 4, Nomor 1, Juni 2008
merupakan hasil perjuangan Dakwah Nabi Muhammad saw. Pada
mulanya kota yang disebut sebagai kota Madinah itu bernama kota Yatsrib
(Yunani ; Yethroba). Namun setelah beliau pindah mendiami kota itu
diganti dengan nama ‘Madinah” yang menggambarkan sebuah proyek
pembangunan komunitas yang berperadaban (ber “Madaniyah”) karena
tunduk dan patuh (dana-yadinu) kepada ajaran kepatuhan (din).
Masyarakat Madani yang diciptakan Nabi merupakan reformasi terhadap
masyarakat yang tidak mengenal hukum (Jahiliyah), supremasi kekuasaan
pribadi seorang penguasa seperti yang selama ini terjadi dalam pengertian
umum tentang negara.. Karena itu menurut Nurcholish Madjid, perkataan
Arab untuk peradaban (Madaniyah), memiliki dasar pengertian yang sama
dengan beberapa istilah yang berasal dari akar rumpun bahasa Indo-
Eropa seperti civil, polis dan politic (juga polis), yang kesamaannya merujuk
kepada pola kehidupan yang teratur dalam lingkungan masyarakat yang
sering disebut “kota” (city, polis).18 Karakter menonjol yang ada pada
masyarakat madany menurutnya adalah demokrasi, toleransi, pluralitas,
menjunjung tinggi dan hak asasi manusia dan berkeadilan sosial.
Ketika menjabat sebagai ketua Gerakan Masyarakat Madani,
Profesor DR. Emil Salim (199?) pernah mengatakan bahwa Masyarakat
Madani sebenarnya telah ada di Indonesia.
“Wujud Masyarakat Madani sesungguhnya telah tertanam dalam
masyarakat paguyuban yang dominan dimasa lalu, ketika kelompok
masyarakat berkedudukan sama dan mengatur kehidupan bersama
secara musyawarah. Perkembangan masyarakat patambayan
memerlukan pembaharuan dalam pendekatan melalui antara lain
pengembangan masyarakat madani dengan kedudukan sama bagi
semua kelompok masyarakat dan kehidupan bersama diatur malalui
lembaga-lembaga perwakilan”.
Menurut Profesor Emil Salim, substansi Masyarakat Madani telah
lama ada dalam etika sosial politik masyarakat Indonesia yang
berkembang dalam kultur masyarakat Indonesia, hak dan kedudukan
yang sama (egaliterainisme) serta budaya sosial politik yang
mengedepankan mekanisme musyawarah dalam penyelenggaraan
kehidupan sosial dan politik merupakan budaya masyarakat Indonesia
yang menonjol. Dalam perspektif civil society (barat) mekanisme
musyawarah dalam menyelesaikan masalah merupakan salah satu
prosedur demokrasi yang substantif.
Bila konstruk masyarakat madani dalam perspektif Profesor Emil
Salim diatas dilihat melalui perspektif civil society, maka agaknya Emil
Salim memiliki kesamaan pandangan dengan mereka yang mengatakan
bahwa Egaliterianisme dan musyawarah dalam pengambilan keputusan
Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
12
yang tidak lain dari karakteristik demokrasi merupakan ciri pokok
Masyarakat Madani.
Sementara Dato Seri Anwar Ibrahim(1994 : 22) yang sering disebut
sebagai pengusung istilah masyarakat madani di Indonesia
menggambarkan masyarakat madani sebagai
“Sistem sosial yang subur yang diasaskan atas moral yang menjamin
keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kesetabilan
masyarakat. Masyarakat yang mendorong daya usaha serta inisiatif
individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan, pemerintahan
mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu
menjadikan keterdugaan atau predectability serta kelulusan atau
tranparancy system
Anwar Ibrahim juga menyebut definisi negatif, dengan melukiskan
gambaran nyata yang bertentangan dengan ciri-ciri masyarakat madani.
“Kemelut yang diderita umat manusia seperti meluasnya keganasan,
sikap melampaui batas dan tidak tasamuh ; kemiskinan dan kemelaratan,
ketidakadilan dan kebejatan sosial, kejahilan, kelesuan intelektual serta
kemuflisan budaya adalah manifestasi kritis masyarakat madani.
Kemelut ini kita saksikan di kalangan masyarakat Islam, baik di Asia
maupun di Afrika, seolah-olah umat terjerumus dalam suatu kezaliman
; kezaliman akibat kediktatoran atau kezaliman yang timbul dan
runtuhnya atau ketiadaan orde politik serta peminggiran rakyat dari
proses politik”.
Karakteristik masyarakat madani dalam pandangan Anwar
Ibrahim adalah berkembangnya iklim demokrasi berupa kebebasan
berpendapat dan bertindak baik secara individual maupun kolektif yang
bertanggung jawab sehingga tercipta keseimbangan antara implementasi
kebebasan individu dan kesetabilan sosial, penyelengaraan pemerintahan
yang didasarkan atas undang-undang serta transparansi. Menurutnya
masyarakat Islam di Asia dan Afrika masih jauh dari ciri-ciri masyarakat
madani, karena masih adanya sikap tidak tasamuh (toleran), kemiskinan,
ketidak-adilan, kezaliman, ketidak-tatanan, ketidaktataran dan
pemiggiran rakyat dari proses politik.
Dalam ceramahnya pada Festival Istiqlal 26 September 1995,
Anwar Ibrahim kemudian secara rinci menjelaskan karakteristik
masyarakat madani dalam kehidupan kontemporer dewasa ini, seperti
misalnya jamak budaya (multi-etnis), kesalingan (reciprocity), dan
kesediaan untuk saling menghargai dan memahami (lita’arafu).
Masyarakat demikian menurutnya meruapakan “guiding ideas”,
meminjam istilah Malik Ben Nabi, dalam melaksanakan ide-ide yang
mendasari masyarakat madani, yaitu perinsip moral, keadilan,
keseksamaan, ,musyawarah dan demokrasi.
13
Volume 4, Nomor 1, Juni 2008
Dari penjelasan Anwar Ibrahim ini, bisa dipahami bahwa
sebenarnya ide-ide masyarakat madani bertolak dari konsep civil society.
Tapi Anwar Ibrahim juga menemukannya dalam konsep yang disebut
Gelner dengan “High Islam”, budaya tinggi Islam yang juga beroperasi
dalam sejarah Islam Asia Tenggara di kalangan Muslim Melayu Inonesia.
Memang seperti yang dikatakan Doglas Sarmatche, bahwa civil society
adalah bagian dari sejarah Eropa Barat dan kemudian ditarik menjadi
bangunan teoritik dan paradigma yang dipakai sebagai kerangka untuk
memahami perubahan-perubahan sosial dimasa transisi dari masyarakat
yang feodal ke masyarakat yang lebih kompleks, modern(Dawam Raharjo,
1999:25).
Sedangkan civil society dalam konsep barat sendiri ide pertamanya
dilemparkan oleh Cicero pada abad pertama SM, ditemukan kembali oleh
Adam Perguson pada abad ke 17. Menurutnya civil society adalah sebuah
tata susila (civility) sebagai konsekuensi dari sebuah peradaban. Tapi dalam
definisi yang dirumuskannya civil society dipakai sebagai istilah politik
untuk menggambarkan sebuah pemerintahan yang membedakan diri dari
despotisme oriental (Oriental Despotism). Dalam konotasi ekonomi civil
society dilawankan dengan masyarakat bar-bar yang tidak mengakui hak
milik. Sementara Filsuf social Itali Gramsci, mengidentifikasi civil society
sebagai hegemoni kultural yang diproduksi oleh Gereja, media massa dan
lembaga pendidikan (Dawam Raharjo, 1999: 34).
Ide civil society sesungguhnya bukan satu bentuk yang tunggal,
namun sering digunakan untuk tiga hal yang berbeda, meskipun dalam
beberapa hal terjadi overlapping, sebagaimana dikemukakan oleh Seligman
dalam Qodri Azizy (2003:129-130), sebagai berikut:
Pertama, istilah civil society digunakan untuk selogan politik, yakni
sebagai selogan gerakan dan partai yang bermacam-macam. Sementara
di Barat dengan dalih perwujudan istilah tersebut, dikembangkan
kebebasan untuk mengeritik kebijaksanaan pemerintah. Kedua, civil
society digunakan oleh ilmuan sebagai analisis yaitu menjelaskan bentuk
organisasi sosial atau fenomena sosial. Kini lebih dikenal untuk
menjelaskan bentuk organisasi sosial kaitannya dengan demokrasi dan
kewarganegaraan. Ketiga, merupakan istilah yang berkaitan dengan
konsep-konsep normatif yang filosofis sebagai konsep ideal yang etis,
yakni suatu visi keteraturan sosial yang mengarah pada terciptanya
visi kehidupan yang baik.
Berangkat dari kajian terhadap ide-ide dasar masyarakat madani
dan substansi civil society yang berkembang di dunia Eropa (barat), Dawam
Raharjo dalam hal ini berpendapat bahwa substansi masyarakat madani
dalam dunia Islam dan civil society di dunia Barat adalah satu, teori civil
society dapat dipinjam untuk menjelaskan istilah masyarakat madani yang
Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
14
digali dari khazanah sejarah Islam. Senada dengan hal ini Nurcholish
Madjid, sebagaimana dijelaskan dimuka tidak membedakan antara
Masyarakat Madani yang lahir dari khazanah sejarah dan Peradaban Islam
dengan civil society yang lahir dari sejarah Eropa atau Peradaban
Barat.

2 komentar:

Free market of ideas will born a spectaculer concept