FREE MARKET OF IDEAS

Mahasiswa Sebagai Agen intelektual sekiranya mampu menuangkan segala bentuk pemikiran positif guna menunjang terbentuknya pembangunan dalam segi pendidikan, ekonomi, sosial, maupun profesionalitas Namun kadang karena terperangkap kedalam suatu sistem pola fikir dogmatis hingga menimbulkan kerangkeng pemikiran yang akhirnya mengakibatkan phobia of mind, untuk itu kader-kader PMII harus mampu melawan hegemoni ketakuatan dan pola fikir dogmatis dengan free market of ideasnya Activies nothing statis, Mahasiswa harus kritis Stay movement to get revolution

Selasa, 22 Juni 2010

Civil Religion


Civil Religion
Civil  religion (agama sipil) adalah sebuah agama yang menyadari bahwa tampilan di wilayah publik hanyalah sebatas nilai dan semangatnya, bukan pada bentuk-bentuk formal. Karena itu pada hakikatnya  agama adalah hakikat sejarah. Ia bukan kumpulan dogma, ajaran kaku, maupun etika eksklusif, melainkan proses-proses historis yang selalu bergerak menuju yang lebih baik. Sebuah proses verifikasi secara terus-menerus untuk menemukan limited kebenaran yang bermanfaat bagi manusia dan alam semesta. Ia mereformasi dan tak jarang merevolusi diri secara elaboratif dan berkelanjutan terhadap seluruh dogma lama agar lebih civilian. Oleh karenanya, pemerdekaan manusia untuk melakukan tindakan-tindakan sosial yang selalu tersublimasi nilai transendennya, harus menjadi paradigma Islam kultural.
Islam kultural harus membawa doktrin bahwa manusia dan seluruh alam raya merupakan manifestasi ketuhanan dan wadah sekaligus penampungan dunia sosial sehingga berfungsi sebagai media legitimasi antara mikro dan makrokosmos. Dalam fungsi penyadaran menyeluruh (conscientization), Islam kultural harus menyadarkan bahwa proses menjadi manusia sejati bukan hanya mengatasi ketergantungan ekonomi, sosial dan politik. Tetapi menuntun manusia untuk mengartikulasikan pembebasan tanpa syarat bagi semua entitas. Islam kultural mendorong penyelesaian-penyelesaian atas nama kemanusiaan universal dan bertolak untuk bertitik akhir pada semangat memerdekan manusia.
Garis perjuangan Islam kultural adalah welfare religion (agama sejatera) yang beradab dalam pencapaian welfare civil (kesejateraan masyarakat). Tuhan dalam civil religion mengajarkan bahwa kesadaran diri dan rumusan cita-cita manusia harus diperoleh dengan cara yang beradab, inklusif, dan pluralis, bukan komunal, sektarian dan eksklusif. Politik dan kekuasaan dalam civil religion berada posisi yang harus terberi nilai dan semangat agama, bukan sebaliknya, mengatur dan memaksa agama terbekam mengikuti alurnya. Karenanya, Islam kultural dengan kerangka civil religion harus senantiasa berakar dari teologi paralel dan berjiwa kerakyatan. Islam kultural jikalau ingin tetap berkiprah harus selalu memegang teguh visi universal dan transformatif dalam pengupayaan kesejahteraan masyarakat dalam kerangka civil society yang kedap intervensi politik.  Dengan demikian, Islam kultural pada dasarnya bergerak dalam wilayah yang sejalan dengan proses demokratisasi dalam seluruh bidang kehidupan.
Islam adalah agama yang dihadirkan ke muka bumi untuk memenuhi panggilan kemanusiaan dan keadilan. Lahirnya Islam sangat terkait dengan konteks historis (kesejarahan) umat manusia pada saat Nabi Muhammad masih hidup. Ajaran Islam harus berpijak pada bumi praksis karena agama ini hadir untuk menyikapi segala problem sosial yang terjadi dalam kehidupan umat manusia. Seorang Muslim yang sejati adalah dia yang berpegang teguh pada nilai-nilai Islam dan menjalankan seluruh ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan yang nyata. Kata dan perbuatan adalah dua hal yang sangat ditekankan dalam Islam.
Di antara sekian banyak pemikir dan pejuang kemanusiaan, salah satunya terdapat nama H. Misbach, seorang kiai komunis yang sejarah hidup perjuangan dan pemikirannya menarik untuk dikaji. Ia dinilai unik karena sangat jarang tokoh yang mempunyai prinsip keyakinan yang kuat seperti dirinya. Biasanya, tokoh yang mengaku pembela hak-hak orang tertindas yang berangkat dari nilai agama lebih bersikap apriori, yaitu memandang bahwa Islam telah mengajarkan sosialisme jauh sebelum ajaran Marxisme itu ada. Lalu di sini mulai dipertentangkan antara agama dan Komunisme, termasuk Islam dan Komunsime. Apakah keduanya memang bertentangan? H. Misbach tidak memandang perbedaan semacam itu. Bagi dia, yang penting adalah bagaimana memanfaatkan “pisau analisa” (tools of analysis) dari Islam dan Marxis untuk membaca realitas sosial dan melakukan perjuangan sosial dengan menghalau segala kekuatan dominatif para kapitalis dan kolonial dalam menjajah negara Indonesia.
Perjalanan H. Misbach dalam menggerakkan agenda perjuangan kemanusiaan dan keadilan adalah dengan melalui wacana dan aksi “Islam Bergerak”. Simbol pemikiran ini telah melekat dalam jati dirinya. Konsep perjuangan yang tengah dilakukan oleh H. Misbach adalah bagaimana mensintesiskan antara ajaran Islam dan ajaran komunisme. Ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan ajaran Komunisme yang disampaikan oleh Karl Marx sama-sama ingin membawa masyarakat pada cita-cita kemanusiaan dan keadilan. Sehingga, keduanya tidak perlu dipertentangkan, bahkan dinilainya saling memperkuat. H. Misbach sangat kagum dengan kepribadian Muhammad dan Karl Marx. Keduanya di mata Misbach adalah sumber inspirasi pergerakan dalam meneguhkan pondasi kemanusiaan di bumi Indonesia. H. Misbach sangat dikenal dengan julukan “Muslim Komunis” atau “Islam Komunis” karena pemikirannya dalam mengkaji Islam dinilai sangat moderat, radikal, dan berhaluan komunis. Ia adalah pejuang komunis yang ada dalam barisan Islam.
Awal mula pergerakan H. Misbach dapat dilacak menurut kejadian historis pra-kemerdekaan negara Indonesia. Keadaan buruk pada tahun 1917-1918 menimbulkan gesekan yang sangat besar. Kenyataan ini tidak bisa disangkal oleh siapapun sehingga menuntut bagi setiap pemikir social-politik Indonesia untuk memberikan tanggapan pemikiran dan konsep yang jitu untuk memecahkan persoalan tehadap kondisi yang rumit pada saat itu. Salah satunya adalah sebuah kelompok yang mencoba mengajukan konsep Marxis untuk memahami realitas sosial yang tengah terjadi. Tokoh utama dari kelompok ini adalah Hendicus Franciscus Marei Sneevliet, ketua ISDV (sebuah gerakan sosial kiri Belanda).
Siapakah Sneevliet itu? Ia lahir pada tahun 1883 di Roterdam. Selepas menamatkan H.B.S ia kemudian aktif dalam sebuah gerakan buruh kereta api. Pada tahun 1913 ia datang ke Indonesia sebagai sekretaris sebuah perkumpulan dagang Belanda. Dan pada tahun 1914 di Semarang ia mulai mengorganisir ISDV. Sneevliet bersama kaum ISDV-nya berhasil mempengaruhi sekelompok angkatan muda yang berasal dari kalangan Sarekat Islam (SI). Misalnya, dari SI Semarang tedapat nama Semaoen, Darsono, dan lain-lain. Dari Jakarta ada Alimin dan Muso. Dan dari Solo muncul seorang tokoh bernama H. Misbach yang kini sedang kita kaji. Dari Sneevliet mereka belajar bagaimana menggunakan analisa Marxistis untuk memahami realitas sosial yang tengah dialami masyarakat Indonesia. Sehingga mereka berkesimpulan bahwa kesengsaraan rakyat Indonesia disebabkan karena struktur kemasyarakatan yang ada, yaitu struktur masyarakat tanah jajahan yang diperas oleh kaum kapitalis.[2]H. Misbach hanyalah seorang mubaligh lulusan pesantren. Posisinya sangat unik, walaupun ia tidak setenar teman-teman sejawatnya, seperti Semaun, Tan Malaka, atau tokoh-tokoh kiri Indonesia lainnya. Lelaki ini lahir di Kauman, Surakarta. H. Misbach lahir pada tahun 1876 dan dibesarkan di lingkungan keluarga pedagang batik yang makmur. Masa kecilnya ia dipanggil Ahmad. Saat menikah berganti nama menjadi Darmodiprono. Setelah menunaikan ibadah haji, orang mengenalnya sebagai Haji Mohamad Misbach. Pada usia sekolah, H. Misbach telah mengisi wawasan pengetahuannya dengan pelajaran-pelajaran keagamaan dari pesantren. Itu karena ia memang berada dalam lingkungan yang religius. Selain belajar di pesantren, Misbach pernah belajar di sekolah bumiputera "Ongko Loro" selama delapan bulan. H. Misbach kemudian mengikuti jejak ayahnya yaitu menjadi pedagang batik di daerah Kauman. Pada saat SI Surakarta berdiri di tahun 1921, H. Misbach mulai aktif di dalamnya. Tapi, mulai benar-benar aktif ketika SI membentuk Indlandsche Journalisten Bond (IJB). Sepak terjang pergulatan pemikiran H. Misbach sangat terkait dengan konteks historis perkembangan Islam di Surakarta.
Kelompok Islam di Surakarta mengalami perpecahan. Perpecahan ini bermula dari sebuah artikel yang ditulis oleh Martodharsono, seorang guru terkenal dan mantan pemimpin SI yang dimuat dalam Djawi Hiswara. Tulisan itu dinilai beberapa tokoh Islam Surakarta sebagai bentuk “pelecehan” terhadap Islam. HOS. Cokroaminoto memperluas isi artikel dan menyerukan pembelaan Islam atas pelecehan oleh Martodharsono itu yang muncul di Oetoesan Hindia. Karena adanya “provokasi” balik yang dilakukan Cokroaminoto, kaum muda Islam Surakarta bangkit melakukan berbagai aksi perlawanan. Akhirnya, Cokroaminoto membentuk Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM), sebagai kendaraan untuk melakukan perjuangan itu. H. Misbach muncul sebagai seorang mubaligh yang sangat vokal sehingga mulai saat itu namanya mencuat ke atas. H. Misbach menyebar seruan tertulis menyerang Martodharsono serta mendorong terlaksananya rapat umum dan membentuk subkomite TKNM.[3] Pada saat itu, ia menjadi hoofdredacteur (pemimpin redaksi) Medan Moeslimin.
Pada awal perjuangannya, H. Misbach memang dekat dengan pemikiran Cokroaminoto yang sama-sama mengusung tema sosialisme Islam. Ia sangat berhutang budi atas usaha Cokroaminoto yang telah mengangkat namanya ke permukaan di antara sederet tokoh Muslim Surakarta. Tapi dalam perkembangan pemikiran berikutnya, H. Misbach menjadi lebih radikal dalam menggerakkan Islam sebagai agama keadilan dan kemanusiaan. Lembaga perkumpulan tabligh yang reformis bernama Sidiq, Amanah, Tableg, Vatonah (SATV) yang bediri bersamaan dengan berdirinya TKNM kemudian menjadi kendaraan perjuangan H. Misbach untuk mengembangkan pemikiran-pemikirannya. Dari sini sebenarnya H. Misbach sudah “berseberangan” dengan Cokroaminoto, seperti halnya dalam kasus perpecahan SI.
Artikel pertama H. Misbach yang ditulis dalam Medan Moeslimin berjudul “Seroean Kita” menjadi sebuah tulisan yang memikat banyak orang karena ditulis dengan gaya penyampaian yang sangat khas. Dinilai khas karena bernada provokatif dan berfungsi menggerakkan massa yang menjadi harapan perjuangan pergerakannya. Sikap-sikap H. Misbach yang tercermin dalam tulisannya itu kemudian dikuti oleh kelompok SATV. Anak-anak muda yang tergabung dalam SATV mengkritik keras ulah elit pemimpin TKNM yang dinilai melakukan korupsi dan penindasan terhadap umat Islam. H. Misbach mengembangkan ideologi gerakan SATV dengan jalan "menggerakkan Islam", yaitu dengan menggelar tablig, menerbitkan jurnal, mendirikan sekolah, dan menentang keras penyakit hidup boros dan bermewah-mewah, dan semua bentuk penghisapan dan penindasan.
Pergulatannya dengan SI dan PKI Dalam catatan sejarah, H. Misbach terlibat dalam pergulatan intens dengan SI dan PKI. Perpecahan di dalam tubuh SI menyebabkan H. Misbach menentukan sikap di kubu mana ia akan berjuang. SI mengalami perpecahan dengan tampilnya kelompok Semaun dan Darsono yang memperluas jaringan SI Semarang menjadi sebuah kelompok merah radikal. Mereka berdua beserta kaum Komunis lainnya melakukan upaya “pemberontakan” terhadap SI yang dinilai telah keluar dari jalur perjuangan. Kelompok SI yang berhaluan putih, yaitu mereka yang menolak doktrin komunisme dan lebih bersikukuh pada kosep sosialisme Islam, seperti Agus Salim dan Cokroaminoto, melakukan perlawanan dengan memperkuat jaringan SI menjadi Centrale Sarekat Islam (CSI).
Mereka berdua mencoba melepaskan diri dari dominasi kelompok Islam (SI Putih). Kongres SI Oktober 1921 di Surabaya mengambil disiplin partai agar anggota-anggota PKI dikeluarkan dari SI. Kelompok Semaun (SI Semarang) adalah bagian dari korban kebijakan itu. Akhirnya, Semaun dan kawan-kawannya keluar dari CSI. Pada tanggal 24-25 Desember 1921, SI Semarang mengadakan kongres untuk merespon kebijakan baru SI Pusat. Kongres ini dipimpin oleh Tan Malaka sendiri karena Semaun (Ketua) dan Darsono (Wakil) telah berangkat ke luar negeri pada Oktober 1921 untuk melakukan kontak hubungan erat dengan Koskow. Kongres itu akhirnya mengambil keputusan untuk menyusung cabang-cabang SI yang keluar dari CSI itu dalam sebuah centrale SI “merah” guna menentang CSI “putih” pimpinan Cokroaminoto.[4]Ketika Semaun balik ke Indonesia pada 24 Mei 1922, ia mencoba menyusup ke dalam SI agar tetap bisa menbawa pengaruh komunis dalam SI. Tapi, Semaun mengalami kesulitan karena Kongres SI Februari 1923 tetap mengambil keputusan disiplin organisasi. Sikap ini ditanggapi oleh kaum Komunis dengan mengadakan kongresnya di Bandung pada 4 Maret 1923. Kongres ini dihadiri oleh 16 cabang PKI, 14 cabang SI Merah, dan perkumpulan sehaluan komunis. Ada banyak kritikan yang muncul terlontar dari peserta kongres ini terhadap kebijakan SI Pusat (CSI) tersebut. Semaun menganggap bahwa SI sudah dibentuk untuk menjunjung kepentingan kaum pemodal dan SI memboroskan uang yang diterimanya dari rakyat. Darsono, dalam forum itu, menegaskan bahwa kaum komunis tidak akan melakukan pertumpahan darah, tapi akan bekerja dengan jujur. Sedangkan H. Misbach menunjukkan ayat-ayat al-Qur’an hal-hal yang berkesesuaian antara Islam dan Komunisme. Misalnya, Islam dan Komunisme sama-sama memandang perjuangan sosial demi menegakkan keadilan masyarakat sebagai sebuah kewajiban, sama-sama menghormati HAM, dan bahwa keduanya berjuang terhadap berbagai bentuk penindasan. Seorang Muslim yang sejati sangatlah mustahil menolak dasar-dasar komunis. Adalah dosa besar apabila memakai agama Islam sebagai selimut untuk memperkaya diri (ini ditujukan bagi pemimpin-pemimpin SI). Dalam forum ini pula, H. Misbach mempopulerkan istilah “sama rasa sama rata” sebagai doktrin kaum komunis karena komunisme tidak membiarkan adanya perbedaan-perbedaan nasib, komunisme ingin melenyapkan kelas-kelas manusia, dan itu juga dilakukan oleh Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Free market of ideas will born a spectaculer concept