FREE MARKET OF IDEAS

Mahasiswa Sebagai Agen intelektual sekiranya mampu menuangkan segala bentuk pemikiran positif guna menunjang terbentuknya pembangunan dalam segi pendidikan, ekonomi, sosial, maupun profesionalitas Namun kadang karena terperangkap kedalam suatu sistem pola fikir dogmatis hingga menimbulkan kerangkeng pemikiran yang akhirnya mengakibatkan phobia of mind, untuk itu kader-kader PMII harus mampu melawan hegemoni ketakuatan dan pola fikir dogmatis dengan free market of ideasnya Activies nothing statis, Mahasiswa harus kritis Stay movement to get revolution

Selasa, 22 Juni 2010

teologi dalam susastra hindu

TEOLOGI DALAM SUSASTRA HINDU
Cerita lain mengenai Gaóeúa berkepala gajah ini, adalah rasa cemburu Pàrvatì kepada Gaóeúa. Dalam kitab Varaha Puràóa (Rao 1968: 39) disebutkan bahwa Gaóeúa yang terpancar dari wajah Úiva mempunyai keindahan (= tampan) yang sempurna. Hal ini menjadikan Pàrvatì iri. Ia mengutuk agar Gaóeúa yang tampan ini berubah menjadi seorang pemuda berkepala gajah, berperut buncit, sehingga semua keindahan hilang. Úiva yang menyaksikan kejadian itu membalas kutukan itu dengan menyatakan bahwa yang disebut Gaóeúa, sang Vinàyaka, akan menjadi Vighnaràja, putra Úiva, dan memimpin para Gaóa. Segala keberhasilan dan kegagalan harus diputuskan olehnya (= Gaóeúa). Ia harus diagungkan di antara Para Dewa, dan dalam semua kegiatan pemujaan yang berhubungan dengan keduniawian ia harus dipuja lebih dulu dalam setiap kesempatan (Ions 1967: 101).
Kitab Suprabhedàgama menceritakan kelahiran Gaóeúa yang berbeda dengan isi kitab Linga Puràóa; dalam kitab ini diuraikan bahwa suatu waktu Úiva dan Pàrvatì sedang beristirahat, tiba-tiba mereka melihat sepasang gajah jantan dan betina sedang bersenggama. Kejadian itu menimbulkan hasrat keduanya untuk melakukan hal yang sama dan dalam bentuk yang sama pula. Kemudian Úiva dan Pàrvatì mengubah bentuk mereka dalam bentuk sepasang gajah pula; dan melakukan hal yang sama. Tidak lama kemudian Pàrvatì mengandung dan melahirkan anak berkepala gajah, berbadan manusia.
Brahmàvaivarta Puràóa (Rao 1968: 46, Getty 1971:7), mengungkapkan bahwa dalam keadaan putus asa karena belum juga dikaruniai anak, Pàrvatì melakukan ‘panyakavrata’ atau pemujaan kepada Úiva dengan memberikan sajian berupa bunga-bunga dan buah-buahan di kuil Úiva setiap hari selama setahun. Pada suatu hari ketika ia berada dalam puncak kekecewaan ia mendengar suara yang menyuruhnya agar cepat pulang, karena di sana anaknya telah menunggu. Dengan tergesa ia pulang, dan benar, di sana telah menunggu seorang pemuda tampan. Dalam kitab ini dikatakan bahwa anak tersebut merupakan perwujudan Kåûóa. Ini sangat menarik karena sebutan “kåûóa” dapat diartikan sebagai ‘Yang Memindahkan Rintangan’.
Kitab Matûya Puràóa dan Skanda Puràóa (Rao 1968: 41, Getty 1971:5) menceritakan kelahiran Gaóeúa yang berkepala gajah. Diceritakan bahwa pada masa antara Dvàparayuga dan Kaliyuga, para wanita, kaum Sudra, serta para pembuat dosa mendapat kesempatan masuk ke kahyangan dengan cara menziarahi kuil Someúvara. Demikianlah, sehingga kahyangan menjadi penuh sesak. Indra, atas nama Para Dewa memohon kepada Úiva yang telah memberi anugrah kepada mereka sehingga dapat masuk ke kahyangan agar merintangi mereka. Úiva tidak dapat menarik kembali atas anugrah yang telah diberikannya. Ia menyarankan untuk meminta belas kasihan Pàrvatì. Para Dewa kemudian memohon belas kasihan Pàrvatì dengan mempersembahkan puji-pujian ke hadapan sang Dewi. Pàrvatì merasa senang atas persembahan Para Dewa, dan mengabulkan permintaan mereka. Kemudian ia menggosokan tubuhnya. Tiba-tiba muncul makhluk bertangan empat, berkepala gajah. Pàrvatì menyebutnya sebagai Gaóapati, kekasih Siddhi dan Buddhi, Gaóeúa dan Vinàyaka. Sang Dewi bersabda Vinàyaka harus dipuja pada hari keempat tiap pertengahan bulan. Barang siapa melakukan pemujaan terhadap Vinàyaka tidak akan mendapat kesulitan dalam mencapai apa yang dinginkannya.
Di dalam Uttara Ràmàyaóa (Vettam, 1989:272) dinyatakan bahwa Úiva dan Pàrvatì bersenang-senang di hutan dalam wujud sepasang kera. Pàrvatì menjadi hamil, dan Úiva mengambil benih dalam kandungan tersebut dan memberikan kepada Dewa Vàyu. Dewa Vàyu menyimpannya dalam perut Añjanà, yang kemudian melahirkan Hanumàn. Úiva dan Pàrvatì mengambil wujud sepasang gajah, kemudia Pàrvatì melahirkan seorang putra diberi nama Gaóapati.
Mitologi mengenai patahnya taring Gaóeúa terdapat di dalam kitab Gaóeúa Puràóa, diceritakan bahwa pada suatu waktu ketika Úiva sedang tidur di istananya di Kailasa, kedatangan Paraúuràma. Gaóeúa yang mengira kedatangan Paraúuràma akan mengganggu tidur Úiva berusaha menghalanginya. Ia melarang Paraúuràma masuk ke istana Úiva, namun Paraúuràma tetap mendesak sehingga terjadi pertarungan. Ketika Paraúuràma terdorong oleh taring Gaóeúa, ia mengayunkan kapaknya dan mengenai taring Gaóeúa sehingga patah. Pada saat bersamaan Pàrvatì datang dan hampir mengutuk Paraúuràma. Namun untung Para Dewa dapat membujuknya dengan mengatakan bahwa taring yang patah itu kelak akan dipuja Para Dewa. Dalam Gaóapati Stotra Gaóeúa disebut sebagai Vakratunda, ‘Ia yang bertaring bengkok’(Getty 1971: 1). Mahànirvanatantra menyebutkan bahwa Gaóeúa dianggap sebagai ‘penguasa panen’. Potongan taringnya melambangkan mata bajak. Ia juga disebut sebagai Raktàtunda “ Ia yang bertaring merah” (Getty 1971: 2). Versi yang sama  tentang patahnya taring Ganeúa dapat dijumpai dalam Padma Puràóa (Vettam, 1989:273).
Kitab Agni Puràóa menjelaskan bahwa lakûaóa yang dipegang Gaóeúa adalah, tangan kanan depan memegang taring yang patah, tangan kiri depan membawa modaka, sejenis kue yang digambarkan berupa sejumlah benda bulat yang ditempatkan di dalam mangkuk. Adapun tangan belakang, tangan kanan membawa akûamàlà, dan tangan kiri membawa kapak. Kadang-kadang Gaóeúa juga membawa aòkusa, pàsa atau danda (Mallmann 1963: 1110.
Bhattacharyya (1975, II: 8210 yang mengutip Mahàbharata dan Siva Puràna menyatakan bahwa Gaóeúa juga memiliki lakûaóa cakra. Di Tamil, India Selatan dikenal cara penggambaran arah menjulurnya belalai, bila belalai itu menjulur ke arah kiri disebut itampiri atau idamburi. Sebaliknya bila menjulur ke kanan disebut walampiri atau walamburi (Gopinatha Rao 1968 I/I: 50; Edi Sedyawati 1994: 80)
11) Rudra
Dewa Rudrapun tidak banyak disebut dalam kitab Ågveda, tetapi dalam berbagai kitab sesudah Ågveda, dewa Rudra mulai semakin banyak dipuja dan bahkan diidentikkan dengan dewa Úiva (Úiva Rudra).  Kitab Yajurveda dan Atharvaveda lebih banyak menyebutkan dewa Rudra. Ia digambarkan sebagai laki-laki bertubuh besar, perutnya berwarna biru dan punggungnya berwarna merah. Kepalanya berwarna biru (Nilagrìwa) dan lehernya berwarna putih (Sitikantha), kulitnya berwarna coklat kemerah-merahan. Rambutnya kriting panjang terurai, seluruh tubuhnya memancarkan cahaya keemasan. Tangannya memegang busur dan panah yang bercahaya. Karakternya nampak angker dan menakutkan, namun hatinya lembut dan maha pengampun. Ia tinggal di pegunungan, merupakan dewa yang sangat pengasih seperti seorang ayah yang menyayangi putranya. Ia juga merupakan dewa yang memberikan kesembuhan kepada setiap mahluk dan dapat menyembuhkan berbagai penyakit.  Di dalam Ågveda II. 1. 6, dewa Rudra diidentikkan dengan dewa Agni.  Dalam Yajurveda (Vàjasaneyi Saýhità XVI. 18. 28) Rudra diidentikkan dengan Sarva dan Bhava.  Pada bagian akhir dari kitab Vajasaneyi Saýhità disebutkan pula nama-nama dewa sebagai wujud dewa Agni, yaitu: Asani, Paúupati, Bhava, Sarva, Mahàdeva, Ìúana dan Ugradeva, sedang dalam Úatapatha Bràhmaóa VI. 1. 3. 7 dapat dijumpai nama-nama dewa Agni sebagai dewa Rudra, yaitu: Sarva, Paúupati, Ugra, Asani, Bhava dan Mahàdeva. Kata Rudra berarti yang menakutkan, berasal dari urat kata Rud, yang artinya mengaum (Ågveda VIII. 46 1,Nir.X 4).  Nama nama lainnya untuk dewa Rudra adalah: Tryambaka, Kapardin.  Dan delapan aspek Rudra Úiva adalah: Bhava, Sarva, Ìúana, Paúupati, Bhìma, Ugra, Mahàdeva dan Rudra. Dalam puja para pandita di Bali, dijumpai stava yang ditujukan kepada Daúa Rudra (Ibid,42) dan Dvàdaúa Rudra (Rudra-Dvàdaúa-stava/Ibid, 418).
Dalam mantram Rudra-Dvàdaúa-stava ini dinyatakan, orang yang merapalkan 12 nama Rudra, pada saat Tri Sandhyà (pada titik-titik  pertemuan hari) akan dibebaskan dari segala kepapaan, seperti pembunuh sapi, menghancurkan keberuntungan, pembunuh guru, pembunuhan di tempat tidur guru, pembunuh bayi dalam kandungan, membunuh wanita dan anak-anak, minum yang memabukkan, dan ia yang melumuri tubuhnya dengan racun. Di  dalam Rudra stuti disebutkan bahwa Rudra sama dengan cahaya matahari. Ia disebut ugradeva, menakutkan dan matanya berwarna merah (Ibid, 332). Dalam seni arca dan seni lukis hampir tidak dijumpai penggambaran dewa Rudra seperti tersebut di atas.
Kitab Úatapatha-Bràhmana menceritakan tentang kelahiran Rudra. Diceritakan bahwa ada seorang kepala keluarga bernama Prajàpati mempunyai seorang anak laki-laki. Sejak lahir anak itu menangis terus, dia merasa tidak terlepaskan dari keburukan, karena tidak diberi nama oleh ayahnya. Kemudian Prajàpati memberikan nama Rudra, yang berasal dari akar kata rud yang artinya menangis (Dowson 1879:296, Wilkins 1882:266, Rao 1968:44). Kisah kelahiran Rudra ini kita jumpai pula dalam kitab suci Veda (Thomas t.t :21) dan kitab Viûóu Puràóa. Tersebutlah Brahmà sedang marah kepada anak-anaknya yang diciptakannya pertama kali, yang tidak menghargai arti penciptaan dunia bagi semua mahluk. Akibat kemarahannya itu tiba-tiba dari kening Brahmà muncul seorang anak yang beåûinar seperti matahari. Anak yang baru “lahir” itu diberi nama Rudra. Dari tubuhnya yang terdiri dari setengah laki-laki dan setengah perempuan itu “lahir” anak berjumlah sebelas orang (Wilson 1840:49-51, Garret 1871:519, Dowson 1879: 269, Rao 1968: 46). Badan Rudra yang berjumlah sebelas itu, menurut kitab Viûóu-Puràóa merupakan asal mula Ekadasa Rudra (Rao 1968: 46).
Ceritra kelahiran Rudra menurut Màrkandeya Puràóa disebabkan karena keinginan Brahmà untuk mempunyai anak yang menyerupai dirinya. Untuk mencapai tujuan tersebut Brahmà pergi bertapa. Tengah bertapa, tiba-tiba muncul seorang anak laki-laki berkulit merah kebiru-biruan menangis di atas pangkuannya. Ketika ditanya mengapa, anak tersebut menjawab bahwa dia menangis karena minta nama. Brahmà memberinya nama Rudra. Namun dia tetap menangis dan meminta nama lagi. Itu dilakukannya hingga tujuh kali, sehingga Brahmà memberi tujuh nama, masing – masing Bhava, Sarva, Isàna, Paúupati, Bhìma, Ugra dan Mahadeva, disamping Rudra (Rao 1968: 45-46). Kedelapan nama tersebut merupakan nama-nama aspek Úiva dalam kelompok Mùrtyaûþaka (Rao 1968: 403). Kisah yang sama juga terdapat dalam Viûóu-Puràóa (Wilson 1840:58, Garret 1871:520), yang oleh Dowson hanya disebut Puràóa (Dowson 1879:269).
Dalam Ågveda salah satu catur Veda Saýhità, menyebutkan Rudra sebagai dewa pelebur kembali alam semesta (Macdonell 1897:75, Giri 1947:363) dan tergolong sebagai dewa yang posisinya lebih rendah  (Garret 1871:520). Rudra dikenal sebagai penyebab kematian, dewa penyebab dan penyembuh penyakit, dia juga dianggap sebagai dewa yang menguasai angin topan. Untuk mencegah terjadinya hal–hal yang berakibat buruk tersebut, maka Rudra dipuja secara istimewa dengan doa-doa khusus untuk “menenangkan” dan menghilangkan kemarahannya (Dowson 1979: 269, Rao 1968:39). Namun sebagai dewa rendahan, walaupun banyak dipuja, Rudra belumlah merupakan dewa tertinggi dan dianggap penting. Pada waktu itu yang dianggap sebagai dewa tertinggi dan dianggap penting adalah Indra. Baru dalam kitab Bràhmana, Rudra diberi nama Úiva, dan kedudukannya pun terus meningkat sehingga menjadi dewa utama.
3.3.2 Penggambaran Dewa-Dewa dalam kitab-kitab Dharmaúastra
Di antara kitab-kitab Småti atau Dharmaúàstra, kitab Manavadharmaúàstra merupakan kitab yang terbesar dan terlengkap. Selanjutnya di dalam kitab ini disebutkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa sebagai Brahmà menciptakan dirinya sendiri selanjutnya menciptaklan alam semesta seperti disebutkan dalam Manavadharmaúastra (I.9) berikut.
         Tadaóðam abhavad haiman sahasràýúuúàmaprabhaý,
         tasmin jajña svayaý Brahmà sarva loka pità mahaá.        
        Benih menjadi telur alam semesta yang mahasuci,
        cemerlang laksana jutaan sinar. Dari dalam telur itu
        Ia menjadikan dirinya sendiri menjadi Brahmà,
        pencipta cikal bakal jagat raya.

Dari kekuatan Yang Maha Kuasa, telur itu jatuh ke dalam air yang merupakan ciptaan pertama. Telur menjadi benih berwarna keemasan. Penciptaan kehidupan, yang dilakukan sebagai bentuk pertapaan di masa kelahiran sebelumnya, dengan jalan demikian maka tepatlah Ia menjdai Brahmà, dalam benih-benih keemasan dari telur (kosmos), selanjutnya Kekuatan Tertinggi itu memasuki kehidupan oleh karenanya Brahmà menjadi pengantar di dalam (kehidupan). Brahmà dikenal pula dengan nama Pitàmaha (leluhur yang tertinggi) atau leluhur dari seluruh jagat raya.
Lebih jauh dijelaskan tentang Tuhan Yang Maha Esa disebutkan sebagai yang Mahamengetahui, Mahapencipta, tidak terjangkau oleh alam pikiran manusia  (Manavadharmaúastra I.3, 6, 7,8).
Tvameko hasya sarvasya vidhanasya svayambhuvaá acintyasyà prameyasyà karyà tattvàrthavitprabho. Sesungguhnya hanya Engkau yang serba tahu, mengerti arti upacara dan ilmu jivàtman dalam Veda yang diajarkan oleh Yang Maha Ada dan tidak dapat diketahui.Tataá svayambhùr bhagavàn avyakto’ yañjayanndam, Mahàbhùtàdi våttujaá pràdùrasìttamanudaá. Kemudian dengan kekuasaan tapanya, Ia yang Maha Ada menciptakan jagat raya, Pañcamahàbhùta dan yang lain- lain, nyata terlihat melemnyapkan kegelapan. Jo’sàvatìndriya gràhyaá sùkûmo’vyaktaá sanatanaá, Sarvabhùto nayo’cityaá sa eva svaya udbhau. Ia yang hanya terlihat oleh pikiran, kekal, kesadaran (citta) daripadanya semua ciptaan ini, yang tidak terkirakan banyaknya memancar laksana kemauan-Nya sendiri. So’bhidyàyà úarìrat svastsisåkûur vividhaáprajàá, Apa eva sarjadan tasu bija mava bijàt. Ia yang menciptakan berbagai ciptaan, menjadikan diri-Nya sendiri, diciptakan makhluk-makhluk hidup yang beraneka ragam, mulai dengan memikirkannya diciptakan air dan meletakkan benih itu ke dalamnya.
Berdasarkan terjemahan úloka-úloka Manavadharmaúàstra di atas dapat diketahui Tuhan Yang Maha Esa yang disebut Brahman atau Brahmà sebagai Mahapencipta, dan di dalam úloka-úloka berikutnya (I.10, 11, 13) disebut dengan Naràyaóa, Puruûa Brahmà, dan Bhagavàn. Dalam úloka selanjutnya disebutkan diri-Nya sebagai Viràja dan Ardhanari (I.32) an daripada-Nya menjadikan dirinya Viràtpuruûa (sebagaimakhluk yang sangat agung) menciptakan para mahàrûi, yakûa, rakûasa, paiúaca, gandharva, suparna dan banyak jenis makhluk lainnya (I.32-63). Dari terjemahan úloka-úloka tersebut tidak digambarkan tentang wujud Brahman atau Dewa-Dewa seperti halnya di dalam kitab-kitab Itihàsan dan Puràóa.
3.3.3 Penggambaran Dewa-Dewa dalam kitab-kitab Āgama, Tantra, dan Darúana
Di  dalam kitab-kitab Āgama dan Tantra, khususnya Dewa-Dewa Trimùrti (Brahmà, Viûóu, dan Úiva) serta úakti dari Dewa-Dewa tersebut (Sarasvatì, Lakûmì, Durgà, dan Pàrvatì) tidak jauh berbeda dengan penggambaran di dalam kitab-kitab Itihàsa dan Puràóa. Di dalam kitab-kitab Darúaóa, Tuhan Yang Maha Esa tidak digambarkan melalui Dewa-Dewa atau berpribadi (Personal God) melainkan tidak berpribadi (Impersonal God). Hal ini adalah wajar, karena kitab-kitab Darúaóa merupakan sistem filsafat Hindu yang mengacu dan mengakui otoritas Veda. Seperti telah dijelaskan, bahwa kitab-kitab Itihàsa adalah kitab sejarah, sedang Puràóa adalah kitab-kitab yang mengandung cerita kuno yang di dalamnya mengandung ajaran agama dan pendidikan atau moralitas. Pada kedua jenis kitab ini, Tuhan Yang Maha Esa digambarkan melalui Dewa-Dewa (Brahmateja) sebagai berpribadi (Personal God).
Membahas ajaran teologi dalam kitab-kitab Darúana maka dua rujukan utama yang akan dikaji adalah kitab Brahmasùtra dan Bhagavadgìtà. Kitab Brahmasùtra merupakan buku utama bagi sistem filsafat Vedànta, sedang Bhagavadgìtà merupakan sintese tiga sistem filsafat Hindu, yakni: Vedànta, Saýkhyà dan Yoga.
1) Brahmasùtra
Untuk memahami apa dan siapa Tuhan Yang Maha Esa itu, manusia mutlak harus memiliki pengetahuan untuk itu. Kitab Brahmasùtra yang disebut juga Vedàntasùtra adalah salah satu buku yang menjelaskan hal tersebut. Sumber utama kitab Brahmasùtra adalah kitab-kitab Upaniûad yang umumnya menggambarkan Tuhan Yang Maha Esa sebagai yang Acintryarùpa atau Impersonal God. Menurut kitab Brahmasùtra, petunjuk yang paling baik memahami Tuhan Yang Maha Esa adalah melalui kitab suci (úàstrayonitvàt)(Brahmasùtra I.I.3-4). Kitab Brahmasùtra sebagai namanya adalah kitab yang di dalamnya mengandung ajaran ketuhanan (teologi) yang tersusun dalam bentuk sùtra, yakni kalimat singkat, penuh makna yang di dalam Bahasa Inggris diterjemahkan aphorism  yang dibaca eferiism atau dalam Bahasa Indonesia ditulis aporisme. Hampir keseluruhan kitab Brahmasùtra (Vireúvarànanda, 2002:10) menjelaskan  tentang Tuhan Yang Maha Esa. Keseluruhan Kitab Brahmasùtra terdiri dari 4 Adhyàya (bab) dengan masing-masing Adhyàya dibagi lagi ke dalam Kàóða (Bagian) dan tiap-tiap bagian terdiri dari beberapa sùtra atau topik. Adapun penggambaran teologi di dalam kitab Brahmasùtra dapat dijelaskan sebagai berikut.

1)  Adhyàya I  Samanvaya
Seperti telah disebutkan di atas, masing-masing Adhyàya memiliki Kàóða (bagian) dan tiap-tiap bagian terdiri dari beberapa topik dan masing-masing topik terdiri dari beberapa sùtra. Adhyàya I terdiri dari 4 Kàóða (bagian) dan masing-masing Kàóða memiliki topuk sùtra yang dapat dijelaskan sebagai berikut:Kàóða (bagian) I terdiri dari 11 topik dengan 31 sùtra, isinya mengenai penyelidikan ke dalam Brahman dan prasyaratan untuk hal tersebut. Batasan mengenai Brahman, Brahman hanya diketahui melalui kitab suci , Brahman adalah topik utamanya dari semua naskah Vedànta. Yang menjadi penyebab awal adalah prinsip dasar yang sangat cerdas, Sang Diri yang mengandung kebahagiaan. Pribadi pada matahari dan  dalam mata adalah Brahman. Kata ”àkàúa” harus dipahami sebagai Brahman, demikian pula ”pràóa” harus dipahami sebagai Brahman, demikian pula sinar dan diakhiri dengan perintah Indra kepada Pratardana (seorang åûi) yang menegaskan tentang hakikat pràóa dan seseorang yang mengetahui pràóa dibebaskan dari segala dosa.

Kàóða (bagian) II terdiri dari 7 topik dan 32  sùtra, isinya mengenai Brahman sebagai pribadi dalam pikiran, yang menikmati persembahan adalah Brahman, Brahman memasuki goa hati (guhahådaya), mata, batin dan Vaiúvànara (pribadi semesta) adalah Brahman.
Kàóða (bagian) III terdiri dari 13 topik dengan 43 sùtra, isinya mengenai uraian tentang planet-planet (sorga dan bumi) bersandar kepada Brahman, bhùman (bumi yang membentang) adalah Brahman. Akûara (yang abadi) adalah Brahman. Brahman adalah Pribadi Tertinggi merupakan objek meditasi dari para åûi. Àkàúa adalah Brahman, yang bersinar adalah Brahman. Pribadi sebesar jempol (Àtman) adalah Brahman. Para åûi dan devatà mempelajari Veda. Pembicaraan golongan úudra yang tidak berhak  belajar Veda (menurut sùtra 34-38) mereka dapat mempelajari Veda melalui Puràóa dan Itihàsa (Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata). Brahman yang menjadikan semua Pràóa bergetar, cahaya dan àkàsa adalah Brahman, dan Sang Diri (Àtma) adalah Brahman.

Kàóða (bagian) IV terdiri dari  8 topik dengan 28 sùtra, isinya mengenai Mahat (Yang Agung) dan Avyakta (Yang Tidak Terungkapkan) dari Kaþha Upaniûad tidak mengacu kepada kategori Sàýkhya. Ajà (Yang tidak terungkapkan) yang berwarna tiga dalam Svetàúvatara Upaniûad bukan pradhàna dari Saýkhya.  Lima macam manusia dalam Båhadàraóyaka Upaniûad bukan 25 kategori dari Sàýkhya. Tidak ada pertentangan antara kitab suci dengan kenyataan bahwa Brahman adalah sebab utama segalanya. Brahman yang menciptakan matahari, bulan, dan lain-lain adalah Brahman, bukan pràóa (daya vital) atau roh individual. Sang Diri (Àtman) mesti diamati melalui berbagai cara dan itu adalah Brahman. Argumen yang menolak ajaran Sàýkhya juga menolak yang lainnya.
  
2) Adhyàya II Avirodha
Adhyàya (Bab) II dengan topik Avirodha, terdiri dari 4 bagian (Kàóða) dan Kàóða I terdiri dari 37 s¬ùtra, membahas penolokan atas Småti yang tidak berdasar atau mengacu kepada kitab Úruti, demikian pula terhadap sistem filsafat Yoga. Brahman walaupun berbeda sifat-Nya dengan dunia, tetapi tetap sebagai penyebab awal dari segalanya. Dijelaskan garis penalaran yang menolak ajaran Sàýkhya, juga berlu bagi yang lain seperti kelompok Naiyàyika (Nyàya), penjelasan tentang perbedaan antara penikmat dengan yang dinikmati tidak bertentangan dengan kebenaran tunggal, juga penjelasan tentang tidak ada perbedaan antara akibat dengan penyebab. Penolakan atas sanggahan bahwa bila Brahman adalah penyebab dunia, maka Dia dan Jìva yang sebenarnya satu; Brahman tentunya bertanggung jawab atas munculnya kejahatan. Brahman walaupun memmiliki material dan instrumen tetapi tetap saja menjadi penyebab adanya alam semesta. Kekuatan Màyà berasal dari Brahman. Penciptaan oleh Brahman tidak memiliki motif dibelakangnya, kecuali dorongan untuk bermain (Lìla). Sikap memihak dan kejam tidak dapat dikenakan pada Brahman. Brahman memiliki semua atribut  yang diperlukan untuk penciptaan.
Kàóða II terdiri dari 8 topik dengan 45 sùtra yang menjelaskan tentang penolakan terhadap teori Sàýkhya bahwa Pradhàna adalah Penyebab Pertama, demikian pula penolakan terhadap pandangan Vaiúesika terhadap Brahman sebagai Penyebab Pertama. Penolakan terhadap teori atomik dari Vaiúesika. Penolakan terhadap pengikut Realist dan ajaran Idealis dari Buddha. Penolakan terhadap ajaran Jainna. Penolakan terhadap ajaran bahwa Tuhan Yang Maha Esa sebagai penyebab efektif dan bukan penyebab material dari dunia ini. Penolakan terhadap aliran pemikiran Bhàgavata yang dualistik.
Kàóða III terdiri dari 17 topik dengan 53 sùtra yang menjelaskan tentang Àkàúa tidak abadi melainkan tercipta oleh Brahman. Udara muncul dari Àkàúa, Brahman tidak terciptakan. Api diciptakan dari udaya, air diciptakan dari api, dan tanah diciptakan dari air. Brahman s ebagai prinsip kreatif, yang bersemayam pada unsur pendahulunya merupakan penyebab  dari unsur berikutnya dalam urutan pemciptaan. Penyerapan kembali terjadi atas urutan yang berlawanan dengan penciptaan. Penyebutan pikiran, buddhi, dan organ tubuh tidak bertentangan dengan urutan penciptaan dan peleburan, sebab hal ini merupakan dari evolusi unsur-unsur alam  semesta. Kelahiran dan kematian umumnya membicarakan tentang badan dan secara pengandaian tentan g roh. Roh individual adalah pemanen, abadi, dan lain-lain. Sifat roh individual adalah kecerdasan. Ukuran-ukuran roh individual yang perdi dari lingkungan lain dan kembali kelingkungan semula, roh itu tidak terbatas (tidak terukur). Roh individual adaah prilaku. Roh adalah pelaku selama ia dibungkus oleh Upàdhi (buddhi, manah, dan ahaýkara). Roh dalam kegiatannya tergantung pda Yang Kuasa, yang diakhiri dengan penjelasan hubungan roh individual dengan Brahman.
Kàóða IV terdiri dari 9 topik dengan 4221 sùtra yang menjelaskan tentang anggota badan berasal dari Brahman. Penjelasan tentang organ tubuh. Ukuran roh sangat kecil. Pràóa juga berasal dari Brahman. Pràóa utama berbeda dengan udara dan fungsi-fungsi indra. Daya vital sangat kecil. Devatà yang mengepalai organ tubuh. Anggota badan adalah prinsip mandiri dan bukan modus dari Pràóa utama. Evolusi dari nama dan bentuk adalah pekerjaan Yang Maha Kuasa dan bukan  roh individual.

3) Adhyàya III Sàdhana
Adhyàya III dengan topik Sadhàna terdiri dari 4 Kàóða (Bagian) dan masing-masing Kàóða terdiri dari beberapa topik dan tiap-tiap topik terdiri dari beberapa sùtra. Kàóða I terdiri dari 6 topik dengan 27 sùtra yang menjelaskan tentang  roh ketika melepaskan diri dari badan pada saat kematian, ia dibungkus oleh partikel yang sangat halus dan unsur-unsur kasar. Roh yang turun dari surga memiliki sisa karma, yang menentukan kelahirannya. Nasib setelah kematian roh yang perbuatannya tidak memberinya hal untuk pergi ke dunia bulan. Roh ketika turun dari bulan tak menjadi identik dengan àkàúa, dan lain-lain akan tetapi mencapai sifat-sifat yang sama. Turunnya roh mengambil waktu yang sangat singkat. Ketika roh memasuki tnaman dan  lain-lain, mereka hanya dihubungkan dan tidak ikut serta dalam hidup mereka.
Kàóða II terdiri dari 8 topik dengan 41 sùtra yang menjelaskan tentang keadaan roh, yakni dalam keadaan bermimpi, dalam keadaan tidur lelap, dan dalam keadaan Suûupti (Samàdhi). Sifat roh dalam keadaan pingsan. Penjelasan tentang pernyataan ”neti-neti” (bukan ini-bukan ini  seperti dijelaskan dalam Båhadàraóyaka Upaniûad 2.3.6 menolak pandangan mengenai bentuk kasar dan halus dari Brahman yang diberikan penjelasannya dalam kitab yang sama (2.3.1) dan bukan Brahman sendiri. Brahman adalah satu tiada duanya dan pernyataan bahwa  ada sesuatu yang lain hanya kiasan saja (metaforical). Ìúvara sebagai pemberi hasil dari setiap perbuatan.
Kàóða III terdiri dari 36 topik dengan 66 sùtra yang menjelaskan tentang Vidyà yakni pengetahuan identik dan sama dengan yang pengetahuan yang terdapat di dalam kitab suci atau pun resensi dari kitab suci. Sumber  Vidyà terdapat dalam berbagai úàkhà atau cabang atau sekolah-sekolah Veda dan berakhir menyatu dalam bentuk meditasi.  Terdapat berbagai topik tentang Vidyà yang merupakan lapangan pengkajian yang berbeda-beda, namun dalam hal tertentu memiliki satu kesamaan. Om secara khusus berasal dari Udgìtha Vidyà dan hal ini umum dibahas di dalam Veda. Selanjutnya dijelaskan tentang kesatuan yang disebut Pràóa Vidyà. Dalam semua meditasi kepada Brahman seperti kebahagiaan, dan lain-lain, yang menjelaskan sifat-Nya, semua dapatb disatukan dalam satu meditasi dan bukan yang lainnya. Kaþhaka 1.3.10-11 menjelaskan bahwa Sang Diri (Àtman) lebih tinggi dari apa pun.  Sang Diri  yang dimaksud dalam Aitareya Upaniûad adalah Sang Diri Tertinggi sehingga semua atribut Sang Diri yang diberikan di tempat lain harus dimasukkan dalam meditasi Aitareya Upaniûad. Membersihkan  mulut tidak dilarang dalam Pràóa Vidyà, melainkan hanya berpikir mengenai air sebagai pembukus luas dari Pràóa. Vidyà dalam úàkhà yang sama,  identik atau serupa hendaknya disatukan. Nama ’ahar’ dan ’aham’  dari Brahman Tertinggi sebagai yang bersemayam pada matahari dan mata kanan secara berturut-turut, sesuai dengan penjelasan dalam Båhadàraóyaka Upaniûad, tidak dapat disatukan, sebab keduanya merupakan Vidyà yang terpisah.
Atribut Brahman yang diuraikan dalam  Ràóayaóìya-khila tidak dapat dipertim-bangkan dalam hubungannya dengan Brahma Vidyà, yang berbeda dengan Úàóðilya Vidyà, sebab yang pertama itu adalah Vidyà mandiri karena persemayaman Brahman yang berbeda. Puruûa Vidyà dalam Chàndogya dan Taittirìya tidak sama. Mantram lepas seperti ”Menghujam seluruh (badan musuh), dan lain-lain dalam upacara Yajña yang disebutkan dalam Upaniûad tertentu tidak merupakan bagian dari Brahma Vidyà yang dimaksudkan dalam Upaniûad pada umumnya.
Pernyataan yang dibuat dalam salah satu naskah bahwa perbuatan baik dan buruk dari seseorang yang telah mencapai Pengetahuan (Vidyà) akan pergi masing-masing pada teman dan musuhnya, adalah benar untuk seluruh naskah, dan pelepasan karma baik dan buruk oleh orang semacam itu disebutkan. Melepaskan pahala karma baik dan buruk oleh yang mengetahui Brahman berlangsung pada saat meninggal dan bukan dalam perjalanan menuju Brhmaloka. Yang mengetahui Saguóa Brahman sajalah yang yang pergi melalui jalan para dewa setelah kematian dan buka yang mengetahui Nirguóa Brahman. Semua pemuja Saguóa Brahman mengadakan perjalanan setelah kematian melalui jalan para dewa menuju Brahmaloka dan bukan mereka yang hanya memahami Pañcàgni Vidyà dan lain-lain dan jalan seperti itu disebutkan secara khusus. Roh sempurna mungkin terlahir kembali untuk pemenuhan berapa tugas Brahman. Atribut negatif Brahman yang dosebutkan dalam berbagai naskah harus dipadukan ndalam semua meditasi pada Brahman.
Muóðaka 3.1.1. dan Kaþha 1.3.1 membentuk satu Vidyà. Båhadàraóyaka 3.4.1 dan 3.5.1 membentuk satu Vidyà. Úruti memerintahkan bermeditasi timbal balik sesuai dengan Aitareya Àraóyaka 2.2.4.6 dan menyebutkan tidak hanya ada satu jalan bermeditasi kepada-Nya. Båhadàraóyaka 5.4.1 dan 5.5.2 menjelaskan satu Vidyà mengenai Satyam Brahman. Atribut yang disebutkan dalam Chàndogya 8.1.1 dan Båhadàraóyaka 4.4.11 harus dipadukan  atas dasar persamaman dari sejumlah gambaran sifat umum yang dijelaskan pada kekdua naskah tersebut. Pràóàgnihotra tidak perlu dilakukan pada saat puasa. Upàsana (pemujaan) yang disebutkan dalam hubungannya dengan upacara Yajña  tertentu bukan bagian dari hal tersebut, sehingga tak secara terpisah tidak terkait dalam hal itu.
Meditasi pada Vàyu dan Pràóa harus dilaksanakan terpisah, walaupun ada inti kesatuan dari keduanya. Api Agnirahasya dalam Båhadàraóyaka bukan bagian dari satu kegiatan upacara Yajña, tetapi membentuk satu Vidyà yang terpisah. Sang Diri adalah kesatuan yang terpisah dari badan. Upàsana yang terkait dengan kegiatan ritual  misalnya Udgìtha Upàsana berlaku untuk semua úàkhà.  Vaiúvànara  Upàsana adalah satu keseluruhan sari Upàsana.  Berbagai Vidyà seperti Úàóðilya Vidyà, Dahara Vidyà dan lain-lain.
Meditasi yang berakibat pada keinginan tertentu mungkin atau tidak mungkin digabung sesuai dengan kemauan masing-masing, demikian pula meditasi yang terkait dengan anggota dari kegiatan ritual dapat digabung atau berdiri sendiri sesuai dengan keinginan yang melaksanakannya.
Kàóða IV terdiri dari 17 topik dengan 52 sùtra yang menjelaskan pengetahuan tentang Brahman mandiri dari kegiatan ritual, demikian pula tentang kewajiban Saýnyàsin diuraikan dalam kitab suci. Pernyataan kitab suci seperti dalam Chàndogya 1.1.3 yang mengacu pada Vidyà, bukan hanya sekedar pemuliaan saja, tetapi memerintahkan meditasi. Cerita yang direkam dalam kitab-kitab Upaniûad bukan untuk tujuan Pàriplava (pembacaan cerita-cerita tertentu saat upacara yajña berlangsung), tidak membentuk bagian dari kegiatan ritual. Ia dimaksudkan untuk pemuliaan Vidyà. Golongan Saýnyàsin tidak perlu melakukan kegiatan ritualistik, karena Pengetahuan (Vidyà) memenuhi keinginan seperti itu. Walaupun demikian, kegiatan kerja yang diuraikan kitab suci sangat berguna karena merupakan cara tak langsung menuju Pengetahuan.
Pembatasan mengenai makanan  dapat ditiadakan, hanya bilamana kehidupan dipertaruhkan. Kewajiban Aúrama harus dilaksanakan walaupun seseorang tidak menginginkan Pengetahuan. Mereka yang berdiri di antara dua Aúrama juga berhak untuk memperoleh Pengetahuan.
Mereka yang telah bersumpah untuk selibat selama hidup (Saýnyàsa) tidak dapat lembali pada tahap hidup terdahulunya. Dijelaskan upaya penebusan dosa bagi mereka yang melanggar sumpah selibat seumur hidup. Sedlibat seumur hidup yang melanggar sumpahnya harus dikucilkan oleh masyarakat. Meditasi yang terkait dengan bagian kegiatan kurban yang lebih rendah harus diselesaikan oleh seorang pendeta dan bukan untuk pelaksanaan upacara korban.
Dalam Båhadàraóyaka Upaniûad 3.5.1 dijelaskan tentang kesenangan akan perenungan (kontemplasi) diperintahkan untuk dilaksanakan, di samping pencarian Pengetahuan dan keadaan seperti anak kecil. Keadaan seperti anak-anak berarti keadaan tanpa dosa, yang bebas dari kemarahan, nafsu dan lain-lain. Waktu penciptaan Pengetahuan ketika Vidyà dilaksanakan. Tidak ada perbedaan dalam Pembebasan yaitu dalam pengenalan Brahman. Hal ini merupakan salah satu jenis dalam berbagai kasus.

4)  Adhyàya IV Phala
Adhyàya IV dengan topik Phala terdiri dari 4 Kàóða (Bagian) dan masing-masing Kàóða terdiri dari beberapa topik dan tiap-tiap topik terdiri dari beberapa sùtra. Kàóða I terdiri dari 14 topik dengan 19 sùtra yang menjelaskan tentang  meditasi pada àtmà seperti diamanatkan dalam kitab suci harus dilakukan berulang-ulang hingga mencapai Pengetahuan. Dalam meditasi pada Brahman Yang Tertinggi, harus membayangkan-Nya identik dengan dirinya. Dijelaskan pula lambang Brahman dipakai untuk meditasi, yang bermeditasi membayangkan tidak identik dengan dirinya. Dalam meditasi pada lambang, yang belakangan harus dipandang sebagai Brahman dan bukan cara sebaliknya. Dalam meditasi pada bagian dari kegiatan ritual (yajña) ggagasan Illahi harus ditumpangkan pada bagian itu, bukan sebaliknya.
Seseorang meditasi sambil duduk, dan tidak ada batasan tempat untuk meditasi. Meditasi harus dilakukan sampai mati. Pengetahuan Brahman membebaskan seseorang dari akibat perbuatan jahat masa lalu maupun masa yang akan datang. Perbuatan baik juga menghentikan akibatnya bagi yang mengetahui Brahman. Hanya perbuatan-perbuatan yang belum membuahkan hasil saja yang dihancurkan oleh Pengetahuan dan bukan yang telah menghasilkan buahnya. Akan tetapi perbuatan-perbuatan  wajib (perbuatan baik) dikecualikan dari yang telah disebutkan di atas.
Kegiatan yajña yang tidak digabungkan dengan Pengetahuan atau meditasi juga membantu pemunculan dari pengetahuan. Dengan habisnya Pràrabdhakarma melalui kenikmatan, yang mengetahui Brahman mencapai persatuan dengan-Nya.
Kàóða II terdiri dari 11 topik dengan 21 sùtra yang menjelaskan tentang  fungsi organ tubuh saat kematian bersatu dalam pikiran. Fungsi pikiran bersatu dalam Pràóa. Fungsi daya vital bergabung dalam roh individual. Cara perjalanan dari badan sampai pada jalannya sama, baik untuk mengetahui Saguóa Brahman maupun untuk orang biasa.

Bergabungnya api dan lain-lain pada saat kematian dalam Devatà Agung bukan penggabungan mutlak. Pràóa dari yang mengetahui Nirguóa Brahman tidak meninggalkan badan pada saat kematian. Organ dalam dari mereka yang mengetahui Nirguóa Brahman akan mencapai ketiadaan perbedaan mutlak dengan Brahman pada saat kematian. Digit (kàla) dari mereka yang mengetahui Nirguóa Brahman akan mencapai ketiadaan perbedaan mutlak dengan Brahman pada saat kematian.
Roh dari yang mengetahui Saguóa Brahman menuju hati pada saat kematian. Roh dari yang mengetahui Saguóa Brahman mengikuti berkas sinar matahari setelah kematian dan pergi menuju Brahmaloka. Roh dari yang mengetahui Saguóa Brahman pergi ke Brahmaloka walaupun ia meninggal selama perjalanan ke Selatan.
Kàóða III terdiri dari 6 topik dengan 16 sùtra yang menjelaskan tentang  jalan yang terkait dengan para Dewa, yang dimulai dengan nyala api hanya satu-satunya jalan menuju Brahmaloka. Roh yang meninggal mencapai Devatà Tahun (Abdàt) dan kemudia Devatà Udara. Sesudah mencapai Devatà yang disamakan dengan kilat (Vàjra) sang roh mencapai dunia Varuóa.
Nyala yang disebukan dalam naskah yang menggambarkan jalan para Dewa berarti Devatà yang disamakan dengan nyala api dan lain-lain yang menuntun sang roh secara bertahap hingga mencapai Brahmaloka. Brahman yang dituju sang roh yang meninggal dengan melalui jalan para Dewa adalah Saguóa Brahman. Hanya mereka yang telah memuja Saguóa Brahman tanpa lambang akan mencapai Brahmaloka.
Kàóða IV terdiri dari 7 topik dengan 22 sùtra yang menjelaskan tentang  roh yang bebas tidak mencari apa pun akan tetapi mewujudkan sifat sejatinya. Hubungan antara roh yang bebas dengan Brahman adalah menyatu tanpa pemisahan.  Dijelaskan karakteristik roh sebagai Kecerdasan Murni yang mencapai Brahman. Roh yang telah mencapai Saguóa Brahman mempengaruhi keinginannya hanya dengan kehendak semata. Roh bebas yang telah mencapai Brahmaloka akan tetap ada dengan atau tanpa badan sesuai dengan kemauannya sendiri. Roh bebas yang telah mencapai Saguóa Brahman dapat menghidupkan beberapa badan pada saat bersamaan. Roh yang terbebas setelah mencapai Brahmaloka memiliki semua daya kekuatan Illahi kecuali daya untuk mencipta. Berdasarkan keseluruhan sùtra di atas, maka pencapaian tujuan tertinggi dari dari yajña adalah hanya bersifat sementara, sedangkan pengetahuan yang diakibatkan dari Brahman adalah bersifat sejati. Brahman sangat murni dan tanpa sifat karena Brahman adalah kebenaran, pengetahuan tak terbatas, karena identik dengan Àtman, pandangan Vedànta tak ada keraguan tentang Brahman sebab Sang Diri tiada lain pengertian ”Aku” sebagai Sang Diri yang telah dikenal ada sebagai sesuatu yang berbeda dengan badan, indra di samping itu takseorang pun meragukan keberadaan-Nya sendiri.Pengetahuan tentang Sang Diri atau Brahman, semua orang memilikinya, tak dapat menghancurkan dunia fenomental dan membantu seseorang mencapai pembebasan, sebab keduanya telah senantiasabrsama-sama sejak semula. Tak ada pengetahuan tentang Sang Diri, di samping kesadaran ego dunia ini merupakan suatu kenyataan dan bukan sesuatu yang bersifat ilusi

1 komentar:

  1. manarik juga bacaanx,mudah mudahan bermanfaat bagi seluruh kader PMII Kota Sukabumi

    BalasHapus

Free market of ideas will born a spectaculer concept