FREE MARKET OF IDEAS

Mahasiswa Sebagai Agen intelektual sekiranya mampu menuangkan segala bentuk pemikiran positif guna menunjang terbentuknya pembangunan dalam segi pendidikan, ekonomi, sosial, maupun profesionalitas Namun kadang karena terperangkap kedalam suatu sistem pola fikir dogmatis hingga menimbulkan kerangkeng pemikiran yang akhirnya mengakibatkan phobia of mind, untuk itu kader-kader PMII harus mampu melawan hegemoni ketakuatan dan pola fikir dogmatis dengan free market of ideasnya Activies nothing statis, Mahasiswa harus kritis Stay movement to get revolution

Selasa, 29 Juni 2010

Sosok zamroni

Zamroni, Pejuang Yang Konsisten
Di awal kebangkitan orde baru, siapa yang tidak mengenal nama  Mohammad Zamroni. Nama mencuat sejak tahun 1965 hingga 15-20 tahun kemudian dalam kancah perpolitikan Indonesia. Namun,kemudian tiba-tiba dia tenggelam ditelan zaman karena memegang teguh idealisme, ia enggan larut dalam tuntutan pragmatisme politik. Sementara teman seangkatannya pada menduduki posisi penting dalam kekuasaan, karena menjadi pendukung Golkar, sementara ia tetap di Partai NU dan kemudian bergabung bersama PPP, yang saat itu menjadi partai oposisi paling potensial dalam melakukan kontrol terhadap kekuasaan.
Dengan sikapnya yang konsisten itulah perjuanggannya tidak dihargai oleh rezim orde baru, berbeda dengan temannya yang menjadi penopang rezim itu bisa menikmati kekuasaan, namun dengan menggadaikan idealisme mereka, dan bersedia amenjadi aparat untuk merepresi rakyat, pembelenggu kebebasan. Sebaliknya Zamaroni menentang rezim represifitu, karenanya ia disingkirkan dari kekuasaan, seperti layaknya bukan seorang tokoh yang pernah berjasa pada republik ini. Padaahal ia seorang ketua umum PB PMII yang sekaligus menjabat sebagai ketua Kesatuan Akasi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang menumbangkan orde lama dan menegakkan orde baru.
M. Zamroni terlahir dari keluarga sederhana di kota Kudus Jawa Tengah. Kedua orang tuanya mendambakan puteranya menjadi seorang kiai, paling tidak mualim yang menguasai ilmu agama. Karena itu setelah tamat Sekolah Rakyat (SR), Zamroni melanjutkan sekolah ke Pendidikan Guru Agama -PGA- enam tahun di kota Magelang Jawa Tengah. Dengan susah payah, kedua orang tuanya mencukupi biaya pendidikan puteranya, dari hasil bercocok tanam padi di sawah dan ladang yang tidak terlalu luas. Namun tekad ibu bapaknya cukup keras, dan akhirnya Zamroni dapat menyelesaikan Sekolah PGA dengan baik.
Zamroni muda kemudian melanjutkan tugas belajar ke IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, setelah sebelumnya diterima menjadi pegawai negeri sipil di departemen agama.Jakarta,dan mendapat tugas mengajar di Magelang. Tugas inipun dapat diselesaikan dengan baik. Untuk beberapa tahun ia menetap di kota dingin ini dan berumah tangga, karena memenuhi keinginan kedua orang tuanya untuk cepat-cepat mendapatkan cucu-cucunya.
Tahun 1962 Zamroni hijrah ke Jakarta, sambil terus  melanjutkan sekolah di IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat. Tugas belajar ini ditunaikan dengan baik, meskipun Zamroni diberi tanggung jawab sebagai Kepala Sekolah PGA Negeri Mampang Prapatan Jakarta Selatan. Tugas rangkap belajar dan mengajar ini dirasakan cukup berat bagi Zamroni, dan karena anak muda ini suka berorganisasi, maka kesibukannya masih ditambah dengan ngurusi organisasi.
Dengan berorgasisasi, dia merasa semakin banyak teman dan kenalan baru yang akan membawa manfaat dalam tata pergaulan dan kehidupan. Itulah sebabnya ketika partai Nahdlatul Ulama mendirikan organisasi kemahasiswaan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia atau PMII pada tahun 1962, maka Zamroini yang baru dating dari Yogya itu segera bergabung ke dalam organisasi baru itu. Di Komisariat  PMII Ciputat ini, Zamroni bergabung bersama-sama Ibrahim AR, Abdurrahman Saleh, Nadjid Muchtar,Chatibul Umam, dan yang lain-lain. Pengalaman di PMII ini  dirasakan sangat berharga dalam perjalanan perjuangan sebagai mahasiswa di masa depan.
Menonjol Sejak dari Ciputat.
Sejarah berjalan demikian cepat, keberadaan PMII di IAIN Ciputat demikian menonjol. PMII menjadi organisasi ekstra mahasiswa terbesar, berimbang dan pernah menjadi yang terbesar di lingkungan IAIN Ciputat. Himpunan Mahasiswa Islam-HMI- yang sudah terlebih dahulu eksis, cukup terkejut menyaksikan geliat PMII yang diterima dengan tangan terbuka oleh para mahasiswa lama dan baru di IAIN. Sebelum ada PMII, HMI nyaris sendirian “menggarap habis” calon mahasiswa baru dan mahasiswa lama. Keberadaan PMII seakan menjadi sparing partner bagi HMI, sehingga dia bisa bertindak lebih santun dalam merekrut anggota.
Salah satu alasan mengapa keberadaan PMII diterima baik mahasiswa baru, karena mereka adalah  putera puteri warga NU. Sebelum ada PMII, tidak sedikit mahasiswa yang puteri-puteri warga NU, bahkan anak-anak tokoh NU, “terpaksa” masuk HMI demi menyalurkan hobi berorganisasi dan bakatnya. Tetapi setelah ada PMII, mereka tumplek blek masuk organisasi yang akidah dan ideology politiknya sejalan dengan basis kulturalnya yaitu NU. Sebab selama di organisasi mahasiswa lain mereka mengalami alienasi, karena ada kesenjangan cultural.
Pergulatannya di PMII Cabang Ciputat, membuat nama Zamroni kian menonjol dan terkenal. Namun sebagai seorang santri, ia tetap berlaku low profile alias andap asor dan rendah hati. Dengan posisi itu aksesnya kepada tokoh-tokoh di PBNU sudah semakin terbuka. Sebagai sesama orang Kudus, tokoh NU yang di kemudian menjadi salah seorang Ketua PBNU yaitu HM Subchan ZE, sangat memberikan perhatian kepada Zamroni. Dia dinilai sebagai sosok anak muda yang potensial dan mempunyai masa depan  dalam kepemimpinan di lingkungan Nahdlatul Ulama.
Dalam perjalanan sejarahnya “pertarungan” antara HMI dan PMII ketika itu terasa semakin menguat. Entah apa yang menjadi alasan bagi mereka, yang jelas Kafrawi Ridlwan dkk. di Yogyakarta sempat mendemo Menteri Agama Prof KH Saifuddin Zuhri. Padahal pada saat-saat yang bersamaan , para tokoh PBNU sedang sibuk mondar mandir menghadap Bung Karno agar tidak membubarkan HMI. Seperti diketahui, kaum komunis melalui PKI melakukan manuver-manuver dan aksi massa yang menuntut pembubaran HMI. Ketua Umum PBNU KH Dr Idham Chalid dan Menteri Agama Saifuddin Zuhri, justru meyakinkan Bung Karno agar tidak membubarkan HMI. Langkah para pentolan PBNU ini diketahui persis oleh sementara pimpinan PB HMI, tapi bagi sebagian yang lain dianggap angin lalu, dan bahkan dianggap sesuatu yang mustahil.
PBNU  melakukan langkah pembelaan itu semata-mata karena ukhuwah Islamiyah, dan merasa HMI adalah anak-anaknya juga. Ketika itu NU merupakan satu-satunya partai politik Islam terbesar yang ada, yang memiliki akses kepada presiden. Namun imbalan yang diperoleh justru Menteri Agama Saifuddin Zuhri, yang mantan Sekjen PBNU justru  didemo besar-besaran dan dituduh melakukan NUisasi IAIN. Padahal dalam membangun IAIN ia dengan selektif memilih tenaga pengajar tidak peduli apa alirannya, asal mampu pasti direkrut, karena terdorong untuk memejukan pendidikan Islam, tetapi ganjaran yang diperoleh sebaliknya, dituduh melakukan penyimpangan.
Menghadapi tuntutan PKI itu, HMI kemudian melakukan perlawanan, baik dengan aksi massa turun ke jalan maupun lobi-lobi politik, termasuk dengan Kasad Letnan Jenderal Achmad Yani. Kasad di kemudian diketahui memberikan pembelaan juga kepada HMI. Para anggota HMI turun ke jalan dengan semboyan “ langkahi mayatku sebelum membubarkan HMI……”. HMI merasa kuat sehingga tidak memerlukan bantuan yang lain.
Situasi yang demikian membuat Zamroni geram, namun sebagai pemimpin yang matang, ia simpan kegeraman hatinya itu. Ia lebih banyak mendiskusikan permasalahan dengan teman-teman di PB PMII yang berkantor di Kantor PBNU juga. Mahbub sebagai Ketua Umum dan terkenal dengan sikapnya yang selalu nuchter dan penuh pertimbangan matang sebelum mengambil keputusan, sehingga tidak menimbulkan gejolak di daerah-daerah. Itu salah satu kelebihan Mahbub Djunaedi.
Memimpin KAMI
Kemenonjolan Zamroni, membuat posisinya sebagai salah seorang ketua PB PMII menjadi semakin populer. Pamornya semakin cemerlang, dan mampu membawa PMII sebagai organisasi kemahasiswaan yang lebih luas dikenal. Seperti diketahui, PMII didirikan tahun 1962, dengan Ketua Umum pertama Mahbub Djunaedi dan Sekretaris Jenderal pertama  Said Budairy. Melalui kongres di Malang, Mahbub tetap memimpin dengan sekjen yang beralih ke tangan H Harun Alrasyid , seorang yang di kemudian terkenal sebagai ulama muda yang memimpin Badan Dakwah PBNU, dan salah seorang Ketua Pucuk Pimpinan  Pemuda Ansor.
Tatkala peristiwa G30S terjadi, sebagai partai politik, NU termasuk yang paling siap. Selama ini NU, terutama Ansor dan Bansernya serta Pertanu dan Sarbumusi, sudah sering berhadapan dengan cara-cara PKI yang menghalalkan segala cara. Aksi-Aksi sepihak yang dilakukan PKI di berbagai tempat dengan dukungan BTI dan Pemuda Rakyat, menyerobot tanah-tanah wakaf milik pondok pesantren. Dengan dalih tanah kelebihan dan penerapan UU Agraria tentang pembatasan kepemilikan tanah, maka kelebihan itu mereka ambil dan dibagi-bagi sesuka hati.
Demikian halnya dengan aksi-aksi buruh yang digerakkan SOBSI, dihadapi oleh Sarbumusi dengan kemampuan yang optimal dan tidak kalah perkasa. Dan kebanyakan mereka berpikir dua tiga kali jika benar-benar “berhadapan” dengan NU, karena mereka mengetahui persis partai  NU memiliki dukungan massa yang kuat dan riil. Masa-masa pasca G30S keadaan politik Indonesia diwarnai ketegangan, serta disertai kemerosotan ekonomi yang sangat dahsyat, penguasa yang ada belum mampu mengatasi keadaan sementara rakyat semakin menuntuk perbaikan hidup. Pada masa itu kekuatan social dan politik juga mengalami kemerosotan, maka para mahasiswa yang memimpin gerakan turun jalan yang menuntut dilakukan perbaikan politik dan kehidupan masyarakat. .
Dalam situasi krisis semacam itu Zamroni  ditugaskan oleh PB PMII untuk mewakili elemen NU dalam gerakan mahasiswa yang akhirnya menduduki Ketua Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia-KAMI. Pembentukan KAMI  melalui proses singkat dan amat cepat. Deklarasi beridirinya KAMI dilakukan pertengahan bulan  Oktober 1965, hanya dua minggu setelah pemberontakan PKI. Deklarasi diadakan di halaman gedung Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Para petinggi yang hadir antara lain Menteri Pendidikan Tinggi Syarif Thayeb dan Ketua DPR GR KH Achmad Syaichu.
Setelah pembentukan KAMI, Zamroni segera mengunjungi daerah-daerah untuk melakukan pembentukan KAMI dengan sasaran yang sama, melakukan tiga tuntutan rakyat atau Tritura. Bubarkan PKI, Resufle Kabinet, dan Turunkan Harga. Pimpinan KAMI yang berbentuk presidium,membagi tugas sedemikian rupa sehingga pembentukan jaringan ke daerah-daerah, terutama ke kampus-kampus perguruan tinggi negeri dan swasta dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat.
Situasi politik sejak September itu itu tidak menentu. Mahasiswa dan rakyat sudah melakukan demonstrasi-demonstrasi besar di Taman Sunda Kelapa dan Taman Surapati yang menuntut pembubaran PKI. Demonstrasi juga sudah dilakukan ke Istana Negara dan gedung Sekretariat Negara, meskipun dengan jumlah massa yang tidak terlalu besar.Tapi Bung Karno bersikukuh pada pendapatnya, bahwa revolusi memang harus memakan korban-korbannya. Bung Karno merasa tidak yakin PKI bersalah atau memberontak.Bung Karno beranggapan G30S adalah urusan intern TNI AD.
Sementara itu, keadaan di lapangan menunjukkan  situasi semakin tidak nyaman, terjhadi konflik politik berkepanjangan. Akibatnya keadaan perekonomian nasional semakin morat marit. Harga-harga mahal, pengangguran bertambah, cari uang susah, inflasi melangit dan lain-lain.
Pada tanggal 11 Januari  1966 adalah “gebrakan” pertama demonstrasi besar KAMI yang dipimpin Zamroni. Puluhan ribu mahasiswa dan masyarakat berdemonstrasi ke Istana Bogor , di mana akan dilangsungkan sidang kabinet. Ratusan pemuda Ansor DKI Jakarta turut serta dalam demonstrasi besar-besaran ini. Delegasi KAMI meminta bertemu Bung Karno yang sedang memimpin sidang kabinet untuk menyampaikan tuntutannya.  Bung Karno keberatan menerima delegasi KAMI dan menugaskan kepada Letjen TNI Soeharto selaku Menteri/Panglima Angkatan Darat, untuk menerima delegasi.
Massa mahasiswa dan masyarakat terus bersorak-sorak meminta bertemu langsung  Bung Karno. Situasi menjadi chaos ketika pasukan Cakrabirawa pengawal presiden memuntahkan tembakan yang bertubi-tubi. Meski tembakan ditujukan ke udara agar mahasiswa tidak terus merangsek pagar Istana Bogor, tapi bunyi tembakan itu membuat situasi menjadi panik dan kacau balau. Ribuan selongsong peluru ditemukan para mahasiswa jaket kuning UI dan jaket almamater lain: Usakti, IAIN, UKI, Ibnu Chaldun, dan lain-lain  pertanda  tembakan “peringatan” itu tidak main-main.
Untuk menenangkan situasi, Letjen Soeharto dan Zamroni tampil di pilar pintu masuk Istana Bogor -di depan kantor pos- bertatap muka langsung dengan ribuan mahasiswa. Soeharto yang berseragam  TNI, sedangkan Zamroni berjaket KAMI (doreng-doreng), keduanya menenangkan mahasiswa. “ Kalau saudara-saudara masih percaya kepada kami sebagai pimpinan KAMI, tolong tenang dan dengarkan……..” pinta Zamroni yang postur tubuhnya masih kurus dengan rambut keriting bergelombang. Cosmas Batubara, Yozar Anwar, Fahmi Idris dan David Napitupulu juga ikut hadir di sana, disamping anggota presidium KAMI lainnya.
Letjen Soeharto mengatakan, percayakan kepada kami untuk meneruskan tuntutan Saudara-saudara  yang tadi sudah disampaikan oleh wakil-wakil saudara. Tuntutan itu akan kami teruskan kepada Presiden Soekarno, kata Soeharto ketika itu. Soeharto kemudian meminta massa mahasiswa kembali dengan tertib ke Jakarta. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, iring-iringan ratusan bus yang mengangkut mahasiswa petang hari tiba kembali di kampus UI Salemba. Itulah sebabnya kampus UI disebut sebagai Kampus Perjuangan.
Menjadi Tokoh Nasional
Sejak itu kepemimpinan Zamroni terus melambung di kancah perpolitikan nasional, melaluii wadah KAMI. Namanya kian beken dan foto-fotonya  banyak menghias media massa cetak dan TVRI, melengkapi pernyataan-pernyataan politiknya yang tajam tapi menenangkan. Ketika terjadi perombakan keanggotan DPR, untuk pertama kali Zamroni masuk ke dalamnya bersama sepuluh orang aktivis KAMI lainnya, antara lain Fahmi,Yozar, Cosmas, David dan yang lain-lain. Dengan menjadi anggota DPR, resmilah Zamroni menjadi figur politik dan sudah semakin mantap berkiprah di kancah pergumulan politik nasional.
Melalui pemilu 1971, Zamroni terpilih menjadi anggota DPR dari partai NU. Pada pemilu  1977, terpilih menjadi anggota DPR melalui Partai Persatuan Pembangunan -PPP. Waktu itu PPP menjadi partai oposisi yang sangat kuat karena itu para tokoh NU kemudian banyak yang digusur. Bersama para tokoh Nu lainnya pada pemilu 1982, Zamroni terganjal oleh permainan kotor kaki tangan orde baru yang hendak meminggirkan NU, sehingga Zamroni dicalonkan masuk dalam nomor sepatu. Ia tentu merasa amat kecewa. Nama besar yang disandangnya, perjuangan di saat-saat kritis menghadapi kekuatan orde lama dengan dukungan pasukan-pasukan liar yang mengancamnya, seperti tidak membawa makna apapun baginya.
Dia kecewa dan frustrasi. Yang lebih mengecewakan lagi, ketika batu ganjalan itu dihadangkan kepada Drs Suryadi, Zamroni dan kawan kawan mampu sekuat tenaga melakukan pembelaan dan berhasil. Namun ketika dirinya dihadapkan batu sandungan dan meskipun teman-temannya sudah melakukan pembelaan sampai ke Ali Murtopo segala,  ternyata tetap gagal juga. Ali Murtopo adalah “orang kuat” waktu itu. Itulah yang membuatnya  stroke, sakit berkepanjangan dan akhirnya berpulang ke rahmatullah, meninggalkan seorang isteri Ny Muzenah, dan dua orang puteri dan seorang putera.
Sebelum itu, ketika hiruk pikuk situasi di awal orde baru mulai reda, peran KAMI dan KAPPI, sudah tidak terlalu dominan, Zamronipun kembali ke habitatnya dunia pendidikan. Dia selesaikan tugas belajarnya, dan syukurlah bahwa bersamaan kesibukan yang menyita waktunya untuk kegiatan politik,  kegiatan sosial kemasyarakatan dan macam-macam, disamping untuk urusan rumah tangga, Zamroni dapat menyelesaikan S1 nya di IAIN Ciputat. Hal ini menunjukkan pribadi Zamroni adalah sosok yang ulet, dan bertanggung jawab terhadap institusi yang menugaskannya belajar hingga selesai.
Yang juga patut diacungi jempol, tokoh yang satu ini tidak pernah menolak diundang ceramah keagamaan, meski hanya untuk tingkat RT/RW atau musholla. Suatu malam pada tahun 1976-an ia harus berceramah di masyarakat pasar Cikini Menteng Jakarta Pusat. Pengurus musholla di sana mengundangnya, karena mengenal namanya dari koran. Demikian juga jamaah masjid di Jalan Percetakan Negara (Kampung Jawa),pada tahun 1978 memintanya berceramah pada peringatan Isra Mi’raj. “ Kalau saya ada waktu saya akan selalu datang undangan dari siapapun…..” katanya dalam suatu kesempatan. Dan memang dasarnya dia adalah muballigh, maka apa yang diceramahkan selalu mendapatkan sambutan hangat masyarakat.
Hidup Sederhana 
Meskipun menjadi  tokoh kaliber nasional dan banyak di kenal di dunia organisasi kemasiswaan internasional, namun kehidupan Zamroni amat sederhana. Rumah dinasnya sebagai pegawai tinggi di departemen agama berada di bagian atas dari bangunan bertlantai dua di Jalan Sumenep Jakarta Pusat. Ketika menjadi Ketua KAMI, kalau saja dia mau mamanfaatkan kesempatan, niscaya dia akan menjadi  figure yang bergelimang dengan harta dan kekayaan. Namun hal itu tidak dilakukan Zamroni, mengingat kultur budaya yang dianutnya tidak mengenal aji mumpung. Lebih-lebih sebagai seorang yang mengenyam pendidikan tinggi bidang agama, tentu hal itu tidak layak dilakukan, apalagi sebagai warga nahdliyin yang selalu mengedepankan keteladanan.
Ketika menjadi anggota DPR dari NU (1971-1982), Zamroni dengan senang hati meninggali rumah dinas yang berada di bagian belakang gedung DPR. Kini bekas perumahan itu sudah dibangun gedung tinggi yang merupakan ruang kerja para anggota DPR. Karena kecilnya rumah, maka sebagian putera puterinya tetap menghuni rumah Jalan Sumenep agar lebih leluasa belajar  dan bergaul dengan teman-teman sepermainannya.
Di rumah dinas Jalan Sumenep itulah Zamroni membina rumah tangga dan karir politiknya, sekaligus membesarkan putera puterinya yang semuanya tiga orang. Isterinya, Ny Muzenah yang dinikahi tahun 1960, selain sebagai ibu rumah tangga yang dengan sabar mengasuh anak-anaknya, sekaligus sebagai teman diskusi Mas Zam, panggilan akrab tokoh yang suka humor, meskipun wajahnya terkesan  angker. Dari bangunan rumah sederhana itu. Dia membangun lobi, membangun jaringan, baik dengan  sesama Angkatan 66 maupun angkatan sebelumnya dan sesudahnya secara lintas agama.
Ketika berlangsung Kongres Pemuda Ansor di Jakarta (1967), Zamroni mengukuhkan niatnya untuk masuk dalam jajaran pengurus pucuk pimpinan. Ketua PBNU HM Subchan ZE merestuinya, dan Zamroni berhasil terpilih sebagai Ketua III PP Pemuda Ansor. Dalam Muktamar NU di Semarang (1979), Zamroni duduk sebagai salah seorang wakil sekjen PBNU. Jabatan di PBNU itu diraih, ketika ia sudah melepaskan jabatan ketua umum PB PMII melalui kongres yang berlangsung di Makassar. Pengganti Zamroni adalah Abduh Paddare, wakilnya yang selama ini sudah bergumul dalam bersama-sama dalam PB PMII.
Musibah Lalulintas
 
Pengalaman pahit dialami Zamroni ketika melakukan konsolidasi KAMI ke daerah Serang Banten tahun 1968. Jeep, kendaraan yang  ditumpanginya mengalami kecelakaan, terbalik, sehingga dia yang duduk di depan terjepit pintu mobil. Dirawat beberapa hari di RSCM, tim dokter memutuskan untuk memotong jari tengah dan jari manisnya pada tangan kanannya. Namun karena peralatan medis waktu itu belum secanggih sekarang, Zamroni direkomendasikan berobat ke Jepang. Atas bantuan pemerintah Jepang, dia berobat dan mengoperasi tangannya di sana dan lantaran itu ia kehilangan dua jari kanannya.
Dalam suatu kesempatan menjenguk di RSCM Zamroni sempat mengeluh tentang nyeri sakitnya itu. Kepada rekan-rekan dan kiai yang membesuknya, ia terus minta didoakan agar rasa nyerinya hilang. Dari Jepang dia kehilangan dua jarinya, tapi mendapatkan dua sepeda motor untuk kegiatan sekretariat jenderal PB PMII, dan mungkin bantuan lain-lain lagi untuk kegiatan KAMI.
Ketika berlangsung diskusi “mengenang pribadi M Zamroni”, beberapa tahun silam, hampir semua koleganya memuji kepribadian Zamroni  yang sederhana dan ini yang penting tidak sombong. Cosmas Batubara, Fahmi Idris, Mar’ie Muhammad, Said Budairy, Sofyan Wanandi dan yang lain-lain semua memuji Zamroni. Pujian itu bukan karena yang bersangkutan sudah tiada, tapi memang tulus dari hati mereka yang dalam.
Tidaklah berlebihan jika dikatakan Zamroni adalah Ketua Umum PB PMII yang paling “ngetop”, baik karena situasi dan kondisinya maupun karena gaya kepemimpinannya. Tetapi yang paling penting adalah konsistensinya pada perjuangan NU, dan itu dijalaninya dengan penuh risiko disingkirkan dan dipinggirkan dari pusat kekuasaan. Rupanya ia kader Subhan yang paling konsisten, mengikuti sikap dan jejak seniornya itu dengan penuh pengornanan untuk keadilan.
Keluarga HM Zamroni kini bertempat tinggal di perumahan pribadi anggota DPR Bintaro Tangerang. Salah seorang menantunya adalah Asmui, mantan aktivis PB PMII dan menjadi salah seorang ketua lembaga tenaga kerja PBNU.( H.A.Baidhowi Adnan-wartawan senior/wakil ketua LTN NU)

Mengaca Konsensus Nasional

Mengaca Konsensus Nasional
Dalam Makro Historis Indonesia
Oleh; Hasyim Wahid

PMII tahun 2005 berkehendak merumuskan kembali konsensus nasional berbangsa dan bernegara. Saya coba melihatnya dalam perjalanan kesejarahan bangsa Indonesia. Saya melihat bahwa bangsa Indonesia itu selalu berjalan terseok-seok di belakang sejarah dunia.
Pasca Perang Dunia ke-I tahun 1916, terdapat pergeseran konstelasi geo-politik. Sekelompok orang Indonesia yang tergabung dalam berbagai perhimpunan pemuda seperti Jong Celebes, Jong Java dan sebagainya melihat ada celah bagi mereka untuk merumuskan dan mendeklarasikan kepada dunia tentang bangsa Indonesia (The Nation of Indonesia) pada tahun 1928. Ada selisih waktu 12 tahun antara patahan sejarah yakni selesainya PD I dengan terciptanya konsensus pertama dalam penciptaan bangsa Indonesia.1
Generasi setelah penggagas Sumpah Pemuda, justru lebih canggih. Sebagian dari mereka pernah mengecap sekolah ke luar negeri, tetapi pikirannya itu sudah benar-benar raksasa dari semua ideologi. Kita bisa melihat yang namanya Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Sahrir, dan tokoh Islam lainnnya, memiliki pikiran yang besar / levelnya raksasa. Karena itu, tidak heran ketika tahun 1936 sebelum pecahnya PD II, Soekarno cs. sudah bisa memperkirakan akan terjadinya konflik pada skala internasional. Konflkik itu dimulai pada tahun 1939 dengan aneksasi Cekoslowakia secara sepihak oleh Jerman yang mengakibatkan terjadinya eskalasi hingga meletusnya PD II. Perang ini telah membentuk poros AXIS antara Jerman, Itali, dan Jepang melawan sekutu Eropa yang kemudian di bantu Inggris. Ketika sekutu dan Inggri ini tidak sanggup juga melawan negara AXIS, AS serta merta turun tangan terlibat PD II.
PD II seperti kita ketahui berakhir dengan kekalahan di pihak AXIS. Mussolini diberontakin oleh sebagian rakyatnya sendiri dan digantung dengan tragis di tiang listrik. Berlin diduduki oleh pasukannya Jenderal Zukov dari Rusia (yang menduduki Berlin lebih dahulu itu bukan tentara AS melainkan tentara Rusia), kemudian Jepang di bom atom, maka selesailah PD II. Pada tahun 1945 tersebut, kelihatan sekali intensitas dan frekuensi pertemuan dari bangsa Indonesia untuk mengantisipasi berakhirnya PD II. Hanya dalam hitungan mingguan, para pemimpin bangsa Indonesia pada waktu itu berhasil mengumumkan / mendeklarasikan kepada dunia internasional proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Dengan demikian terjadilah konsensus nasional kedua pembangunan negara bangsa Indonesia (nation-state of Indonesia).
Kemudian sejarah Indonesia terus berjalan dengan segala turun naiknya sampai mencapai tahun 1958 ketika terjadi perang dingin antara blok Amerika dan blok Soviet. Perang dingin itu sendiri sebenarnya diawali oleh sebuah artikel di majalah foreign affairs yang ditulis oleh George Canon, nama artikelnya adalah “Artikel X”. Praktis artikel itulah sebetulnya “manifesto awal” dari perang dingin dari Blok AS kepada Blok Soiviet. Dalam konteks perang dingin ini terjadilah benturan antara berbagai pihak yang pro Blok Barat (AS) dan pihak yang pro Blok Timur (Soviet). Tidak lama setelah itu terjadilah pendirian Seskoad oleh beberapa perwira AD yang pro Amerika. Ujung dari pertarungan geopolitik itu adalah munculnya peristiwa G/30/S 1965. Terjadilah pembantaian antar anak bangsa dan bisa dibilang pertumpahan darah terbesar dalam sejarah Indonesia terjadi di tahun 1965 ini.
Kemudian, antara tahun 1965 sampai 1967 dalam keadaan vakum dari sebuah konsensus terjadi tarik menarik pelbagai kekuatan dari berbagai kubu. Tarik-menraik pertarungan dari berbagai kekuatan ini berakhir tahun 1967 dengan diselenggarakannya seminar Seskoad, dimana di situ dikokohkanlah ideologi negara Orde Baru yang bernama “developtamentalisme”. Melalui develeoptamentalisme inilah trilogi pembangunan, stabilisasi keamanan dan politik, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasilnya dikokohkan.
Ada selisih waktu lagi, mulai dicanangkannya perang dingin sampai terjadi kemapanan nasional ideologi yang berlaku di tahun 1967, yakni sekitar 9 tahun. Ini menunjukkan sekali lagi bahwa Indonesia, ketika tidak paham geopolitik, dia selalu terseok-seok lama dalam sejarah internasional. Sementara itu, geopolitik dunia menunjukkan bahwa perang berkepanjangan antara blok Barat dan blok Timur tersebut berakhir tidak pada military warfare melainkan economic warfare. Dalam economic warfare maupun cultural warfare ini kita tahu yang kalah adalah blok Soviet. Ini semuanya tidak secara cerdas dibaca oleh para elit nasional, sehingga tidak mampu mengatasi pertumpahan darah.
Selanjutnya, tahun 1989 menandai keruntuhannya blok Timur, dimana rezim pemerintahan Jerman Timur ditundukkan oleh sebuah band rock yang namanya Scorpion, dengan lagu wind of change orang kemudian menjebol tembok Berlin. Setelah itu dalam konteks geopolitik, blok Barat sudah tidak punya keperluan kepada para “satpam” mereka di dunia ke-3, sehingga masalah kejatuhan Orde Baru hanya menunggu waktu saja. Namun, karena para elit nasional tidak awas melihat hal ini, Orba baru rontok ketika 1998. lagi-lagi terdapat selisih waktu 9 tahun. Itu menunjukkan kembali bagi saya terseok-seoknya bangsa Indonesia di tengah sejarah dunia.
Sedangkan Chotibul Umam Wiranu yang juga tengah menggagas sebuah pikiran tentang konsensus nasional, menyatkaan bahwa konsensus nasional yang benar hanya terjadi dua kali, yakni Sumpah Pemuda dan Proklamasi. Selebihnya, konsensus 1967 (pencanangan trilogi pembangunan) dan reformasi 1998, keduanya bukanlah konsensus melainkan koersi, karena berdarah-darah2.
Saya coba melihatnya lagi ke depan, jika kita selalu terbukti terseok-seok dibelakang perjalanan dunia setelah sebanyak 3 kali, dan 1 kali kita pernah begitu responsif melihat patahan sejarah dunia, yakni ditahun 1945, maka saya kira sudah kewajiban bagi generasi muda sekarang untuk mencoba lebih bisa antisipatif ke depan. Kita semua harus bisa mencoba melihat kemungkinan-kemungkinan kapan dan dimana dan dalam bentuk apa terjadi patahan sejarah, sehingga bangsa Indonesia itu bisa menggeliat keluar dari keadaan krisis.
Saya katakan demikian, sebab saya kog agak was-was dan cemas bahwa bangsa Indonesia sepertinya tidak memiliki kapasitas internal untuk melakukan perubahan dalam dirinya sendiri. Kita harus menunggu ada celah sejarah, baru kita bisa keluar. Itupun terlambat sekali, bisa belasan ataupun puluhan tahun. Jika sekarang ini para pemimpin Orde reformasi tidak juga sadar tentang patahan sejarah mana di depan yang memungkinkan kita menggeliat keluar, saya khawatir kita akan berkepanjangan begini terus. Bangsa ini akan turun dalam suatu keadaan, dimana hanya ada dua kemungkinan, yaitu terjadinya Balkanisasi (pecahnya bangsa dan runtuhnya teritorial negara) atau Afrikanisasi (pecahnya bangsa tanpa runtuhnya batas negara). Balkanisasi itu contohnya kayak Yugoslavia, ketika pecah menjadi Kroasia, Bosnia, dan lain sebagainya. Sedangkan, Afrikasinsasi negaranya tidak pecah tetapi berkelahi terus, seperti Rwanda, Nigeria, Sudan dan sebagainya.

Konstelasi Internasional Sebagai Determinant Factor
Saya khawatir konstelasi internasional merupakan satu-satunya faktor determinant dalam perumusan konsensus nasional. Guna menjelaskan hal tersebut, sejumlah pertanyaan bisa diajukan disini; apakah benar Mojopahit bisa berdiri, jika Singosari tidak bertabrakan dengan Kubilai Khan ? Apa benar Mataram bisa berdiri kalau Demak tidak mengalami pelemahan setelah kalah bentrok dengan Portugis ? Ini merupakan sekelumit contoh bahwa kekuatan-kekuatan internal Indonesia itu hanya baru bisa berdiri setelah kekuatan sebelumnya kalah dalam sebuah pertarungan melawan kekuatan internasional.
Pertanyaan itu kalau dilihat itu terjadi berulang-ulang secara repetitif. Jika Belanda tidak mengalami pelemahan karena diduduki Jerman diawal Perang Dunia II, apa benar Jepang bisa masuk ke Indonesia ? Ketika Belanda jadi lemah dikampungnya, Jepang masuk ke Indonesia dan Jepang membikin suatu kegiatan yang mengkonsolidir berbagai komponen masyarakat yang kemudian hari menjadi tulang punggung pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Pertanyaan saya mungkin menyakitkan buat generasi muda, apa benar mahasiswa bisa menjatuhkan Soeharto kalau dia tidak ditekan duluan oleh Michael Camdesus (Direktur IMF)? Pertanyaan ini penting diajukan untuk sebuah proses demitologisasi dan demistifikasi atas gerakan mahasiswa di Indonesia. Apa benar yang menggulingkan Soekarno itu hanya KAMI ? KAMI itukan cuma buat tabir asap (smoke screen) dan itu terus dilegendakan kemudian dilakukan mistifikasi atas namanya gerakan mahasiswa. Padahal yang menjatuhkan Soekarno itukan jelas Angkatan Darat dengan CIA, Pentagon dan Foreign Departement.
Kemudian apa benar gerakan mahasiswa yang reformis itu yang menggulingkan Soeharto ? Saya kog tidak yakin, sebab dalam kacamata saya jelas bahwa yang menggulingkan Soeharto adalah IMF. Setelah itu, sadar atau tidak sadar, gerakan mahasiswa diperalat menjadi alat ring 2 dari IMF. Pertanyaan terakhir, apa benar gerakan neo-liberal di Indonesia bisa menggulingkan Soeharto ? Enggak bisa, sebab yang menggulingkan Soeharto adalah IMF. IMF memakai tangan ring pertama, namanya para spekulan uang, George Soros, Paul Richardson, yang tugasnya membanting rupiah, baru setelah itu diluncurkan dijalanan para pemain politik senior Indonesia itu ring 2, mahasiswanya hanya menjadi ring 3, penggembira yang diturunin di jalan buat ditembakin. Inilah yang saya maksudkan sebagai demitologisasi dan demistifikasi atas gerakan mahasiswa di Indonesia.
Setelah demitologisasi dan demistifikasi ini bisa dihapus dari gerakan mahasiswa Indonesia --khususnya di PMII-- saya berharap kelak mereka bisa mengawali pembangunan konsensus nasional ke depan dalam konteks menunggu rupture (patahan) sejarah dunia. Karena itu, apa yang harus kita kerjakan ke depan ? Ini mungkin agak menyakitkan buat teman-teman mahasiswa. Seperti halnya memang agak menyakitkan buat teman-teman KAMI ketika saya ngomong ini di tahun-tahun 1978 sampai dengan 1982. Menurut saya demitologisasi dan demistifikasi harus dilakukan supaya bangsa ini segera mampu kembali kepada suatu keadaan pikiran yang jernih, sehingga benar-benar bisa membuat konsensus nasional yang sekaliber Sumpah Pemuda dan Proklamasi. Kalau tidak, generasi muda Indonesia cuma mengulangi konsensus-konsensus nasional semu seperti tahun 1967 dan 1998.
Sekarang saja kelihatan dengan situasi ekonomi seperti ini, tidak ada gerakan apapun, Sebabnya sederhana, ini terjadi karena tidak ada penggalangan dana. Kalau dulu kan caranya jelas, ada kekuatan oposisi dari luar negeri yang mengucurkan dana. Begitu kucuran-kucuran itu distop, maka separah apapun kondisi ekonomi dan politik dalam negeri, gerakan mahasiswa tidak akan bisa berbuat apa-apa. Karena itu, saya melihat bahwa konstelasi internasional menjadi satu-satunya faktor determinant.

Rumusan Konsensus Nasional seperti apakah yang akan terjadi ?
Persoalannya kemudian adalah konsensus nasional seperti apakah yang sesuai dengan situasi geopolitik internasional dn kondisi kebangsaan Indonesia seperti sekarang ini? Tidak mudah menjawab pertanyaannya ini, sebab saya sendiri belum sampai ke jawabannya. Justru saya berharap --karena saya sadar sekali ada pergeseran—semua komponen bangsa harus mikir bareng, tidak bisa oleh orang per orang. Yang jelas, konsensus yang harus dicapai nanti adalah konsensus yang belum pernah ada preseden-nya dalam sejarah Indonesia, yakni unpresedented consensus. Seperti halnya Sumpah Pemuda dan Proklamasi, keduanya merupakan unpresedented consensus.
Memang ada sebagian pihak yang membaca bahwa konsensus ini tampaknya mensyaratkan adanya harmoni.Terkait ini, harmoni di Indonesia itukan hanya melihat puncak gunung yang tampak indah di balik kabut. Yang di bawah kabut, yakni harga yang harus dibayar oleh rakyat, itu tidak pernah dibahas. Saya tidak suka kita pakai analogi gunung es, karena analogi gunung es yang terapung di laut itu tidak masuk kedalam logika publik kita, dan gunung es itu sendiri tidak pernah ada di negara kita. Saya lebih suka memakai analogi puncak gunung yang tersaput kabut tampak indah, tetapi di bawah kabut itu yang ada hanyalah penderitaan. Kalau kita mengambil pilihan konsensus yang harmoni itu, saya khawatir pengulangan-pengulangan saja, baik pengulangan Orde Lama maupun Orde Baru. Sementara, dalam pusaran arus dunia ini ada tekanan sentripental yang bisa membuat Indonesia sempal, dalam konteks yang alternatifnya itu bisa Balkanisasi dan Afrikanisasi.
Sedangkan untuk pilihan konsensus dalam konteks NKRI dan Pancasila, saya bilang oke. Tetapi Pancasila yang seperti apa ? Menurut saya, Pancasila itu tidak bisa lagi cuma slogan-slogan kosong. Pancasila harus dijabarin dulu secara radikal, seperti apakah Ketuhanan Yang Maha Esa itu ? tentunya tidak seperti penafsiran MUI, dimana orang lain dimentahkan dan dibilang murtad. Ketika kita ngomong perikemanusiaan yang adil dan beradab, kita harus mampu mencari titik temu antara Piagam HAM internasional dengan masalah pandangan HAM-nya orang Indonesia. Ketika kita cerita tentang permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan, kita harus mampu merumuskannya lagi dalam tarik-menarik antara sila itu dengan multikulturalisme. Dalam hal keadilan sosial, mungkin kita sudah tidak bisa ngomong lagi tentang walfare state ataupun komunis. Mungkin kita melihatnya dalam konteks distributve justice, seperti John Rawls itu. Jadi, Pancasila-nya itu dari saat ke saat selalu di-reinterpretasi dalam kerangka teori-teori sosial kritis yang mutakhir untuk selalu bisa di-reaktualisasi pada kehidupan bangsa, kalau enggak, kosong lagi.
Oleh karena itu, kalau mau harmoni ya monggo harmoni, tetapi harmoni yang benar. Bukan harmoni sifatnya pengorbanan mayoritas bangsa untuk kenikmatan segelintir elit bangsa. Itukan jadinya bukan demokrasi, tetapi plutokrasi. Kalau mau kembali ke NKRI dan Pancasila, maka tafsirkan dulu yang benar hal kedua hal tersebut sampai bisa diaktualisasikan, sesuai dengan perkembangan perjalanan sejarah dunia. Kalau tidak, saya khawatir kita akan mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama seperti masa lalu, dan kemudian sejarah akan menghukum kita karena mengulangi kesalahan itu. Sampai pada suatu titik kita mencapai suatu keadaan bivorkasi namanya. Dimana kita me-reorganisasi diri pada sebuah sistem atau kita punah sebagai suatu sistem, itu saja pilihannya.

Konsensus Nasional Sebagai Perjuangan Long Term
Selain saya, diforum ini tidak ada yang berusia lebih dari 40 tahun. Sejarah berpihak pada anda! Sementara orang-orang lain yang berbicara konsensus nasional dan sebagainya ini, mereka itukan berpikir dalam konteks short term. Karena sejarah berpihak pada anda semua, mestinya anda berpikirnya yang long term caranya dengan menunggangi yang short term ini. Jangan dilabrak, sebab tidak akan kuat, sedangkan bagaimana cara menungganginya ya yang pinter-pinterlah caranya.. Sebab, konsensus nasional di kepalanya tentara itu beda dengan yang ada di kepala saya. Kalau tentara berpikirnya cuma besok, bagaimana mereka bisa kembali melanggengkan kekuasaan mereka. Saya enggak, saya berpikir konsensus nasional dalam konteks geopolitik. Kapan sih ada sejarah dunia ini di depan ada patahan, supaya bangsa Indonesia kelak bisa bangkit kembali. Titiknya di situ, namanya titik bivorkasi, artinya bisa mencapai itu atau punah. Kalau punah, maka jalannya hanya lewat Balkanisasi atau Afrikanisasi. Itu saja, tidak lebih tidak kurang. Sesederhana itu saya melihatnya dalam konteks macro histories (sejarah makro). Kalau tentara atau pemain-pemain politik yang tua itu berpikirnya tidak begitu, sementara itu, kalau yang sipil hanya berpikir supaya tentara jangan balik lagi ke politik. Bagaimana tentara jangan balik ? lha wong presidennya sendiri sudah pensiunan tentara gitu, kan ini namanya sudah balik separuh. Tentara ya tentara, mereka akan berupaya bagaimana konsensus ini dibikin supaya mereka masuk lagi full 100%. Ini jelas beda dengan yang ada di kepala saya.
Oleh karena itu, ini semua juga tergantung time frame yang kita lihat, jika time frame yang kita lihat pendek, itu sama halnya kita akan memfasilitasi orang-orang tua menjadi penguasa nasional dan buat saya itu tragis. Kita mikirnya harus dalam jangka yang panjang, dimana kita mikir dalam suatu ruang yang belum pernah dijejaki orang untuk membuat diri kita sendiri menjadi elit pada saatnya kelak. Saran saya, ambillah jalan yang kedua ini. Buatlah diri anda menjadi elit nasional kelak. Hanya saja persiapannya itu yang setengah mati. Persiapan dalam arti bukan hanya pengembangan jaringan, tetapi juga akumulasi pengetahuan. Itu yang paling berat.

Pikiran-Pikiran Taktis Membangun Konsensus Nasional
Secara segmentatif, kalau kita bicara segmennya kita kecilkan dari Indonesia ke Islam. Saya kira hari ini dalam tingkat riil meski tidak jelas garis pembaginya. Tanpa menyebut organisasinya, saya melihat Islam teriris pada 5 watak. Pertama, ada kaum tradisional konservatif, katakanlah sayap konservatifnya NU Kedua, ada kaum tradisional sempalannya tradisional konservatif yang progresif, seperti PMII dan JIL Ketiga, modernis konservatif yang personifikasinya kayak Dien Syamsuddin Keempat, modernis yang lebih progresif dan Kelima, fundamentalis tetapi tidak radikal dan tidak pula progresif yang dilambangkan oleh PKS itu. Dalam konteks perjalanan waktu, saya kira tradisional konservatif dan modernis konservatif itu akan habis. Saya kira mereka bisa akan dilindas saja, karena mereka akan menjadi bagian konsumen dunia. Kalau dulu Herbert Marcuse mengingatkan terjadinya one dimensional man, nanti itu ujungnya akan terjadai one dimensional society / one dimensional global society. Lha PKS yang tidak berpikir mungkin masuknya akan kesitu, mereka merasa dirinya radikal padahal tidak. Nah, kalau modernis urban muda yang progresif dengan tradisionalis rural progresif menyatu, itu nanti di masa depan cuma ada 2 kubu, yakni progresif inklusif dan progresif eksklusif yang dicerminkan PKS itu, ujungnya harus dibikin ke sana, sehingga lapangannya lebih luas dan pemainnya lebih sedikit.
Selanjutnya, jika ditilik dari segmen usia penduduk, umpamanya kita bagi dalam kelompok umur, maka :
1.Usia 0 – 15, saya cirikan dengan ketiadaan gizi, ketiadaan pendidikan dasar yang memadai dan ketiadaan pelayanan kesehatan dasar yang memadai.
2.Usi a 15 – 25 saya tandai dengan wagium of authority, kosongnya otoritas, tawuran saja di jalan.
3.Usia 25 – 35, isinya cuma mimpi.
4.Usia 35- 45, saya tandai dengan hedonisme
5.Usia 45 – 55, saya tandai dengan kebingungan
6.Usia 55 – 65, saya tandai dengan arogansi dan egoisme
Ini semua tidak ada yang enak, namun dengan keadaan seperti ini ada peluang yang besar untuk PMII. Sekali PMII bisa menancapkan otoritas pada kelompok umur 15-25, PMII akan memiliki pengikut yang membabi buta, dan itu bisa dijadikan ujung tombak, secara negatif maupun positif, secara konstruktif maupun destruktif.
Sedangkan yang 25-35, yang ngimpi tadi, tinggal lihat mimpinya saja, jualan mimpinya kayak apa gitu ? Kalau Aa’ Gym dan Arifin Ilham itukan jelas jualannya, yakni masuk “melbu swarga” jadi manajer kalbu, memberi mimpi, soalnya hidup ini sudah ‘rekoso’. Itukan cuma masalah pengenalan segmen pasar saja. Kemudian kelompok lain perlu menggarap generasi yang bingung, 45 – 55 tahun. Sedangkan, usia 35-45 yang hedonis, tidak usah dipikirkan, mereka inilah yang menjadi lost generation. Satu-satunya yang bisa PMII lakukan dari mereka adalah bantuan dananya. Ini masalah marketing sebenarnya, anda tahu apa yang akan anda kerjakan di segmen mana pada kelompok umur berapa dan rumusnya pakai apa ?
Kalau PMII pintar menggarap, maka 0 – 25 itu ya bisa, apalagi yang 0 – 15 tahun itu dengan ketiadaan gizi, ketiadaan pendidikan dasar dan pelayanan kesehatan yang memadai, menjadikan mereka kurang pengetahuan. Kita bisa belajar dari PKI, praktek politik yang dilakukan PKI itu jelas menunjukkan bahwa mereka hanya mau mencari pengikut di kalangan tani untuk meraih kekuasaan dan dalam konteks itu mereka lebih cerdas daripada LSM-LSM yang mau bergerak meminta reformasi agraria. LSM ini melakukan reformasi agraria tetapi membuat acaranya di hotel bintang empat bukan di desa, sedangkan PKI berada di tengah-tengah petani. Seharusnya mereka menyebar orang langsung ke segmentasi pasarnya, yakni menyebar orang turun ke desa. Inilah masalahnya, pemetaan / penandaaan pasarnya lebih cerdas PKI.
Lihatlah berita Kompas hari Sabtu, 31 Juli 2005, Kongres AS meminta membaca ulang referendum tahun 1969 tentang Papua. Ini sama saja dengan menggulung ulang Indonesia. Sebenarnya Indonesia itu lahir dari wilayah Hindia Belanda minus Irian. Kemudian Irian di ”aneksasi” oleh Soekarno sedangkan Soeharto meluaskannya ke Timtim. Nah, dengan lepasnya Tim-Tim akan berakses pada lepasnya Papua hingga kita kembali seperti tahun 1949 menjadi RIS, jadi negara kecil-kecil seperti negara Pasundan, negara Sumataera dan sebagainya. Ini mengarah Balkanisasi dan Afrikanisasi setiap pulau.
Mengapa mereka menghendaki internasionalisasi Papua? Sederhana, kalau nanti Papua Barat dan Papua Timur bisa dikelola jadi satu, maka itu sama artinya dengan menyatukan sebuah “benua perawan” yang bisa dieksploitasi secara ekonomis. Karena tinggal ini satu-satunya benua yang tersisa untuk melakukan eksperimentasi semua di situ, yakni bagaimana membangun suatu paradigma ekonomi yang lain. Sebab Amerika sudah tidak tertolong karena telah mengalami diservikasi, Amerika Latin dan sebagainya juga mengalami diservikasi. Inilah motif dibalik petisinya 28 senator AS.
Ketidaktahuan kita pada apa yang terjadi dunia juga terjadi dalam masalah kenaikan BBM seperti sekarang ini. Padahal yang terjadi sebenarnya adalah persaingan (perkelahian dagang) ras Anglosaxon dengan ras Mongol, dimana akibatnya terjadi perdagangan kertas untuk penyerahan minyak dalam konteks future trading sehingga harganya naik. Padahal, barangnya itu hari ini ada ekses 2 juta barel sehari. Ada dua sebab pada level internasional, yakni sebab geopolitik dan keserakahan AS. Sedangkan sebab domestik Indonesia, ada 2 sebab juga, yakni kesalahan politik minyak sepanjang Orde Baru uyang membiarkan kita mengekspor minyak mentah tetapi tidak membangun kilang-kilang minyak. Kemudian juga dikarenakan permainan kelompok keluarga Cendana, yang selalu menguji semua presiden setelah Soeharto dengan masalah kelangkaan minyak, baik mulai Habibie, Gus Dur, Mega maupun SBY.
Dalam hal menghadapi kapitalisme global misalnya, kita membutuhkan dalam bahasa Gus Dur dinamakan modified kapitalime, yakni akumulasi pengetahuan yang kemudian di modifikasi menjadi akumulasi kapital. Untuk itu kita perlu menunggangi kapitalisme global, hal ini hanya Mao Ze Dong yang mengerti, dimana China membeli divisi laptop-nya IBM Amerika, sama sakitnya dengan Sony Jepang yang mencoba menawar Disneyland. Celakanya, Indonesia seperti Sampoerna dijual ke Philips Morris. Mereka tidak tahu bahwa dengan penjualan ini, maka buruh rokok lintingan (handmade) akan habis, sebab dipastikan akan digantikan dengan mesin oleh Philips Morris.
Ini terjadi karena kita tidak memiliki politik industri, dan diatasnya lagi kita tidak punya politik ekonomi, semuanya diserahkan ke pasar tanpa ada pengaturan negara. Padahal, AS yang embah-nya neo-liberal itu merancang dengan baik masalah ini. Sebagai contoh, perkembangan AS ini diawali dengan penyatuan lembaga-lembaga keuangan pada tahun 1920 an, dimana antara bank investasi dan bank komersial tidak boleh menyatu, setelah mapan dalam 60 tahun berselang, mereka melakukan penggabungan kembali antara bank investasi dengan bank komersial di tahun 1980 an. Kemudian ditahun 1990 an mereka menciptakan teknologi informasi, sekarang ini sedang dibangun lagi teknologi rekayasa biologi. Yang melaukan ini ya pemerintah, bukan pasar. Orang kita seperti para ekonom neoliberal justru melarang pemerintah untuk mencampuri pasar. Inilah karena kita tidak bisa mikir panjang, tetapi pendek terus.
Sejumlah hal di atas saya ajukan untuk membuktikan bahwa ketiadaan pengetahuan membuat kita tidak memiliki alat baca melihat situasi. Perjalanan historis Indonesia lagi-lagi menunjukkan, bahwa meski memiliki akumulasi kapital tanpa ada akumulasi pengetahuan dalam hitungan hari sudah jatuh. Lihat saja tahun 1972 ketika bangsa Arab dan Opec lainnya melakukan embargo minyak ke AS dan negara-negara maju. Booming oil ini hanya hanya mampu kita nikmati 7 tahun, sebab ditahun 1979 Pertamina dinyatakan bangkrut.
Terakhir, kita bisa membangun Indonesia ke depan yang baru itu melalui akumulasi pengetahuan. Bukankah dulu kita pernah memiliki sekelompok elit nasional yang mampu membaca konstelasi internasional dan memiliki kemampuan membaca psikologis bangsanya sehingga mampu memerdekakan Indonesia ? Warisan inilah yang perlu dihidupkan lagi untuk membangun Indonesia ke depan.
Karena itu, harus dibangun mimpi panjang (telelologis) tentang Indonesia yang lebih baik melalui akumulasi pengetahuan sebagai alat mendisiplinkan gerakan. Kita bayangkan Singapore yang tidak memiliki apa-apa bisa kaya dikarenakan memiliki akumulasi pengetahuan. Untuk itu kita harus menginfiltrasikan ninghtmare (mimpi negatif) kepada semua kelompok agar mnereka bisa mimpi baik. Dalam nightmare ini hanya ada dua kemungkinan, mau jadi Balkanisasi apa Afrikanisasi? Dengan begitu dalam level alam bawah sadar mereka akan terpaksa menjatuhkan pilihannya hanya satu, yakni mimpi baik.
Kita ini tidak memiliki kecerdasan geopolitik, kalau punya kecerdasan, maka kita sepeti para elit Timur Tengah yang dengan leluasa menjalin hubungan strategis dengan Amerika Latin. Menurut saya, lihatlah konsensus nasional dalam konteks historis perjalanan kebangsaaan Indonesia. Hanya dengan begitu kita memiliki perspektif yang lebih panjang. Tanpa itu saya khawatir jadinya kayak rame-rame euphoria reformasi yang tidak karuan-karuan. Mungkin kecenderungan saya sebagai peminat makro histori membuat saya tidak bisa fasih berbicara panjang-panjang, saya hanya bisa membuat pointers-pointers. Sedangkan elaborasinya mungkin bisa menjadi satu sessi sendiri, agar kemudian PMII mampu membuat sebuah sekenario planning. Kira-kira apa yang akan terjadi di Indonesia 10 tahun, 20, 25 tahun ke depan. Kalau terjadi begini, PMII itu melatih kadernya kayak apa, kalau sekenario 2 yang terjadi, PMII itu melatih kadernya kayak apa. Nah, kalau sudah sampai pada titik itu, saya menyarankan kepada PB PMII untuk mencoba juga bicara pada MM. Billah, karena beliau dengan segala pendekatannya yang terlalu normatif, tetapi tetap buat saya beliau adalah salah satu penulis sekenario planning terbaik di Indonesia dewasa ini. Mungkin beliau agak ahistoris, namun jika itu dipadukan dengan perjalanan historis yang saya lihat, mungkin juga akan membawa perspektif dan hasil lain.

Selasa, 22 Juni 2010

ORMAS KEAGAMAAN DALAM PEMBERDAYAAN POLITIK MASYARAKAT MADANI

ORMAS KEAGAMAAN DALAM PEMBERDAYAAN POLITIK MASYARAKAT MADANI

Demokrasi yang membuka keran kebebasan berpartai, seyogyanya
membuka peluang bagi Parpol untuk menjadi wadah artikulasi kepentingan
rakyat dalam mencapai kesejahteraannya. Ketika Parpol gagal melakukan hal
itu maka Ormas keagamaan menjadi wadah alternatif yang bisa berperan sebagai
struktur mediasi (Mediating streucture) yang menjembatani kepentingan Negara
dan masyarakat. Dan secara historis peran politik ormas keagamaan yang sangat
strategis telah dimainkan oleh dua ormas besar di Indonesia, NU dan
Muhammadiyah.

PENDAHULUAN
Salah satu persoalan yang menjadi fokus perhatian dalam
pemberdayaan masyarakat di Indonesia (khususnya) adalah realitas
kemiskinan yang melanda warga bangsa dalam bentuknya yang
memprihatinkan. Angka kemiskinan negeri ini mengalami peningkatan
pasca terjadinya krisis ekonomi yang di mulai pada tahun 1997, dan juga
tak kunjung teratasi hingga beberapa tahun kemudian(Djiwandono, 2001
: 3-4) Realitas kemiskinan diyakini bukan sekedar sebuah produk kultur
yang melekat dalam kehidupan masyarakat, tetapi memiliki korelasi
signifikan dengan kebijakan politik-ekonomi pemerintahan yang kurang
memberi ruang kesempatan kepada mayarakat miskin untuk keluar dari
jeratan situasi yang membuat mereka miskin(Jalaluddin Rahmat, 2000:65).
*) Dosen Fakultas Dakwah IAIN Raden Intan Bandar Lampung,
Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
6
Kebijakan politik-ekonomi pemerintah diperparah oleh struktur
ekonomi global yang kapitalistik, yang hanya memberi ruang kesempatan
luas kepada pemilik modal sehingga karenanya secara tidak terkendali
melakukan monopoli pasar dan penguasaan produksi dari hulu hingga
hilir. Dominasi ekonomi kapitalistik ini nampaknya terus berlangsung
seiring dengan laju perkembangan globalisai dengan segala perangkat
system dan teknisnya. Dan jika kondisi ini terus berlangsung maka citacita
dan keinginan untuk mengentaskan rakyat miskin dari jeratan problem
kemiskinan yang dihadapi akan semakin menemukan kendala yang
rumit. Problem kemiskinan inipun akan meniscayakan timbulnya aneka
problema sosial budaya dan bahkan problem politik yang saling tumpang
tindih, antara satu dengan yang lain akan saling mempengaruhi.
Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah , sejatinya
merupakan implementasi dari cita-cita kemerdekaan, “mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur”,yang terbebas dari jeratan
kemiskinan. Namun realitasnya pembangunan yang telah dilaksanakan
dalam beberapa dasawarsa belum memenuhi harapan dimaksud. Ada
beberapa sisi lemah dari aktifitas pembangunan (development) yang
dilaksanakan oleh pemerintah sehingga melahirkan beberapa paradoks :
Pertama, sebagai implementasi dari ideologi developmentalisme,
pembangunan lebih menekankan pada pembangunan ekonomi berupa
pertumbuhan ekonomi, dengan mengesampingkan aspek-aspek lainnya
terutama aspek sosial dan aspek politik. Dalam aspek politik beberapa
kebijakan yang dibuat justru berkecenderungan pada depolitisasi
masyarakat (terutama masyarakat akar rumput), sehingga masyarakat
tidak memiliki ruang untuk melakukan kontrol terhadap berbagai
kebijakan pembangunan. Tersumbatnya ruang kontrol publik melahirkan
otoritas birokrasi tanpa batas dan pemerintah masa lalu seringkali
memperlihatkan prilaku pemerintahan yang otoriter. Kedua, Pemilihan
tehnik trickle down effect (efek mengalir dari atas ke bawah) telah menafikan
partisipasi (peran serta) substantif masyarakat (publik). Akibat yang tak
terelakkan dari hal tersebut adalah ketergantungan masyarakat pada
negara. Hal ini karena negara mengambil peran yang sangat besar dalam
melakukan regulasi berbagai aspek kehidupan publik. Dalam banyak hal
telah terjadi disfungsioanalisasi instusi-instusi tradisional yang lahir dari
rahim sejarah dan kultur masyarakat.
Dalam perspektif ekonomi pertanian khususnya, peran dan fungsi
negara yang tegak atas dasar mode of production kapitalisme telah
melahirkan realitas sosial yang kontroversial, sehingga seperti yang
disinyalir oleh Cliffort geertz, disatu pihak ia telah melahirkan kelas borjuis
dan dipihak lain ia telah menghancurkan sistem dan struktur sosial
7
Volume 4, Nomor 1, Juni 2008
tradisional dan menciptakan kemiskinan di kalangan masyarakat
desa(Gertz, 1976 : 65).Kebijakan pembangunan yang “serba negara”
seperti yang dipaparkan di atas menyimpan kelemahan mendasar,
sehingga seiring dengan tuntutan perubahan yang diinginkan masyarakat,
pemerintah orde reformasi(Maroto & Anwari, 202 : vii) telah melakukan
koreksi dan perubahan kebijakan yang fundamental. Dalam demokratisasi
politik misalnya, selain telah terjadi perubahan struktur kelembagaan MPR
dan DPR, masyarakat telah menikmati kebebasan pers, kebebasan
melakukan unjuk rasa, perubahan sistem pemilihan umum, perubahan
pada sistem kepartaian dan reposisi TNI dalam tatanan politik negara.
Salah satu perubahan yang cukup menonjol dalam pemerintahan
orde reformasi adalah terciptanya demokratisasi politik dalam bentuk
kebebasan membentuk partai-partai politik. Keberadaan partai politik
idealnya menjadi ruang artikulasi aspirasi maupun kepentingan rakyat
yang menjadi target reformasi. Kebijakan baru ini kemudian melahirkan
eforia politik berupa bergeloranya semangat demokrasi, dimana respon
yang sangat menonjol adalah bangkitnya semangat kompetitif untuk
melahirkan partai-partai baru dengan identitas ideologis dan tujuan yang
beragam. Kemunculan parpol baru secara teoritik merupakan sebuah
pranata penting dalam pemberdayaan politik masyarakat pasca era
pemerintahan yang cenderung otoriter. Hanya saja realitasnya bahwa
partai-partai politik belum effektif menjalankan fungsinya sebagai
kekuatan yang mengartikulasikan kepentingan masyarakat. Arbi Sanit
misalnya mensinyalir bahwa pada era reformasi kekuatan masyarakat
sesungguhnya memegang momentum untuk mempunyai giliran
mengelola negara dengan mempercayakan tugas itu kepada partai.
Berakhirnya rezim otoriter, secara otomatis meminta kehadiran yang
sebesar-besarnya peran partai-partai politik yang secara hakiki merupakan
representasi politik masyarakat(Arbi Sanit, 2002: 165). Namun realitasnya
tugas partai politik dimaksud belum terwujud sebagaimana yang menjadi
tuntutan. Partai-partai politik yang ada dalam banyak hal masih terfokus
pada upaya konsolidasi internal dan perebutan kekuasaan yang diyakini
sebagai tahapan kunci dalam membangun kekuatan dan masa depan
partai. Di hadapan partai politik, masyarakat terkesan hanya diposisikan
sebagai objek mobilisasi untuk kepentingan parpol itu sendiri.
Belum berfungsinya parpol sebagaimana seharusnya menghendaki
adanya kekuatan alternatif, dan organisasi sosial serta LSM secara historis
telah memperlihatkan fungsi alternatifnya dalam melakukan hal itu7. LSM
dan Ormas, ormas keagamaan khususnya telah memposisikan diri sebagai
kekuatan masyarakat yang mampu membangun posisi tawar (bargaining
position) politik masyarakat di hadapan negara. Ormas keagamaan
Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
8
sebagai lembaga non-Pemerintah diharapkan dapat memenmpati posisi
sebagai institusi yang di samping menjadi kekuatan peyeimbang, juga
memiliki kemampuan untuk melakukan pemberdayaan (empowering)
masayarakat, membangun kekuatan politik, ekonomi sosial dan budaya.
Ketika organisasi poltik formal belum memainkan peran yang memadai
dalam melakukan penyeimbangan kekuasaan (balance of power) maka
institusi-institusi masyarakat yang terlahir dari dan untuk masyarakat
bisa minimal untuk sementara waktu, menggantikan posisi orpol dalam
membangun poisisi tawar (bargaining posistion) masyarakat.
Tulisan ini bermaksud menelaah fungsi dan peran dimainkan oleh
ormas keagamaan dalam pemberdayaan politik yang secara teoritik
merupakan pranata penting dalam merealisasikan cita-cita mewujudkan
Masyarakat Madani seperti kerap diungkapkan, baik dalam wacana sosial
maupun politik.
ESSENSI DAN FUNGSI ORMAS KEAGAMAAN
Untuk dapat memahami fungsi organisasi sosial keagamaan, maka
memahami essensi organisasi itu sendiri merupakan hal yang penting
untuk dilakukan terutama untuk menghindari bias pemahaman. Menurut
Sondang P Siagian(1976 : 20), organisasi adalah sekumpulan orang yang
bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama dan terlibat secara formal
dalam satu ikatan hirarki dimana terdapat hubungan antara pemimpin
dengan yang dipimpin. Beberapa ilmuan seperti Chester Bernard, Kootz,
Kate dan Kahn, Myess dan Myers serta Talcot Parson sebagaimana dikutip
oleh Ruwiyanto (1998 : 27) mendifinisikan organisasi sebagai suatu unit
sosial yang berupa wadah suatu kelompok atau beberapa kelompok orang
guna melakukan kegiatan yang terorganisasikan, dengan pembagian
tugas, wewenang dan tanggung jawab, dan peranan atas anggotaanggotanya
serta menetapkan hubungan antara peranan yang dibentuk
secara terstruktur dalam mencapai tujuan.
Secara empirik organisasi terbentuk atas dasar kebutuhan untuk
mengorganisir diri dalam mencapai tujuan tertentu. Tujuan yang telah
dirancang dan disepakati oleh pendiri organisasi dimaksud menentukan
corak dan bentuk organisasi yang dibentuk. Kompleksitas perkembangan
budaya masyarakat dalam reaslitasnya telah meningkatkan kesadaran
untuk berorganisasi atau menghimpun diri, sehingga dalam
perkembangannya beragam organisasi muncul sebagai wadah perjuangan
masyarakat. Dan dalam konteks ke-Indonesiaan, salah satu bentuk
organisasi yang ada dan berkembang adalah organisasi sosial
kemasyarakatan, yang memiliki karakteristik tersendiri. Organisasi sosial
kemasyarakatan merupakan organisasi sosial (non-profit), yang dibentuk
9
Volume 4, Nomor 1, Juni 2008
oleh masyarakat (warga) secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan,
profesi, fungsi, agama dan kepercayaan, untuk berperan serta dalam
pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional. Dalam
kenyataannya organisasi kemasyarakatan di Indonesia muncul dalam
beberapa bentuk : Organisasi Politik, Organisasi Ekonomi, Organisasi
Sosial, dan Organisasi Keagamaan.
Organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan menempati
posisi yang khas dibandingkan dengan organisasi umumnya, pertama
bahwa secara khusus Ormas Keagamaan dibentuk bukan untuk mencari
keuntungan apalagi yang bersifat material finansial, kedua bahwa
organisasi sosial keagamaan berada di luar wilayah organisasi
pemerintah, ketiga bahwa dalam kegiatannya ia lebih memusatkan
sasarannya pada kepentingan anggota (masyarakat) serta keempat
keanggotaannya bersifat masif(Efzioni, 1982 : 3)
Fungsi organisasi sosial keagamaan dapat digambarkan dan
dibayangkan dengan meminjam teori analisis fungsi yang dikemukakan
oleh seorang sosiolog yang bernama Robert K Berton. Menurut Berton,
Analisis fungsi bisa dilakukan dengan melihat apa yang ingin dicapai
atau tujuannya, maupun akibat yang tidak secara langsung ditimbulkan12.
Dengan berpegang pada teori ini, maka fungsi organisasi juga bisa dilihat
dari tujuan yang ingin dicapai organisasi dan akibat atau dampak tidak
langsung yang timbul akibat keberadaan gerakan atau kegiatan organisasi
itu. Secara umum tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi sosial
kemasyarakatan adalah untuk “mewujudkan kesejahteraan anggotanya,
yang tidak hanya terbatas pada kesejahteraan material finansial, tapi juga
mencakup aspek-aspek lain yang menjadi fokus kegiatan”. Untuk
mencapai tujuan yang bersifat makro tersebut, maka organisasi sosial
keagamaan menjadikan beberapa faktor sebagai proses sekaligus
jangkauan gerakannya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat
yang bersifat makro. Beberapa faktor penting yang dimaksud adalah
sebagaimana teori Cox (2001) yang dikutip oleh Isbandi Rukminto
Adi(2002:123), bahwa kesejahteraan masyarakat dipengaruhi oleh
beberapa domain penting yang meliputi : Faktor Ekonomi, Faktor Politik,
Faktor Hukum, Faktor Budaya, Faktor Ekologi dan Faktor Sosial. Dalam
prakteknya, organisasi sosial keagamaan (di Indonesia khususnya) pada
umumnya menjadikan seluruh domain dimaksud sebagai satu kesatuan
yang tak terpisahkan dalam mewujudkan kesejahteraan itu dan sekaligus
dijadikan sebagai misi organisasi.
Tentu saja dalam konteks pemberdayaan masyarakat untuk
mewujudkan kesejahteraan sosial ekonomi, organisasi sosial keagamaan
bukanlah pemain tunggal. Pemerintah sebagai pemegang mandat
Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
10
penyelenggaraan kehidupan masyarakat memegang kendali utama.
Dalam hal ini organisasi sosial keagamaan berfungsi sebagai mitra strategis
pemerintah, yang dalam perspektif akademik oleh Heru Nugroho disebut
sebagai Struktur Mediasi (Mediating structure). Istilah Struktur Mediasi
didefinisikan sebagai “lembaga yang mempunyai posisi di antara wilayah
kehidupan individu secara privat dengan lembaga-lembaga makro yang
berhubungan dengan kehidupan publik”(Heru Nugroho, 2000 : 195).
Sebagai Struktur Mediasi, maka organisasi sosial keagamaan berperan
menjadi struktur antara yang menjembatani kepentingan masyarakat luas
dan pemerintah. Dalam perspektif teori ini, maka menguatnya organisasi
sosial (keagamaan) merupakan indikasi menguatnya posisi tawar (bargaining
positions) mayarakat (rakyat) di hadapan negara. Sejalan dengan
teori ini penguatan posisi masyarakat (pemberdayaan masyarakat) dapat
dilakukan dengan melakukan penguatan organisasi masyarakat (orsos,
orsos keagamaan).
Konsep dan Pengembangan Masyarakat Madani
Terma masyarakat madani merupakan salah satu terma yang
dipakai sebagai konseptualisasi sebuah masyarakat ideal yang diharapkan.
Melihat istilah atau kata yang dipakai, dapat diduga bahwa terma itu
berasal dari kultur budaya masyarakat Arab yang belandaskan setting
sosio-historis masyarakat di zaman Nabi Muhammad SAW. Istilah itu
diterjemahkan dari bahasa Arab “Mujtama’ madani” yang diperkenalkan
pertama kali oleh Profesor Naquib al-Attas, seorang ahli sejarah dan
peradaban Islam dari Malaysia, pendiri sebuah lembaga yang bernama
Institute for Islamic Thought and Civilation (ISTAC) yang diseponsori oleh
Anwar Ibrahim (Republika, 1998 : 2). Dalam wacana yang berkembang,
beberapa ilmuan dan intelektual secara konsisten memakai istilah
“Masyarakat Madani” sekalipun antara satu dengan yang lain memiliki
perbedaan pendangan dalam merumuskan makna dan model masyarakat
yang dimaksud.
Nurcholish Madjid (2000 : 80) mendefinisikan Masyarakat Madani
sebagai “masyarakat yang sopan, beradab dan teratur” dalam bentuk
negara yang baik16. Menurutnya Masyarakat Madani dalam semangat
modern tidak lain dari civil siciety”, karena kata “madani” menunjuk
pada makna peradaban atau kebudayaan. Dalam kaitan dengan
persatuan kata “Madany” dengan Madinah (sebagai sebuah kota) yang
merupakan simbol sebuah masyarakat politik yang lahir di tengah
peradaban Islam, maka menurutnya bukanlah sebuah kebetulan bahwa
wujud nyata dari masyarakat Madani itu ada dalam sejarah Islam yang
11
Volume 4, Nomor 1, Juni 2008
merupakan hasil perjuangan Dakwah Nabi Muhammad saw. Pada
mulanya kota yang disebut sebagai kota Madinah itu bernama kota Yatsrib
(Yunani ; Yethroba). Namun setelah beliau pindah mendiami kota itu
diganti dengan nama ‘Madinah” yang menggambarkan sebuah proyek
pembangunan komunitas yang berperadaban (ber “Madaniyah”) karena
tunduk dan patuh (dana-yadinu) kepada ajaran kepatuhan (din).
Masyarakat Madani yang diciptakan Nabi merupakan reformasi terhadap
masyarakat yang tidak mengenal hukum (Jahiliyah), supremasi kekuasaan
pribadi seorang penguasa seperti yang selama ini terjadi dalam pengertian
umum tentang negara.. Karena itu menurut Nurcholish Madjid, perkataan
Arab untuk peradaban (Madaniyah), memiliki dasar pengertian yang sama
dengan beberapa istilah yang berasal dari akar rumpun bahasa Indo-
Eropa seperti civil, polis dan politic (juga polis), yang kesamaannya merujuk
kepada pola kehidupan yang teratur dalam lingkungan masyarakat yang
sering disebut “kota” (city, polis).18 Karakter menonjol yang ada pada
masyarakat madany menurutnya adalah demokrasi, toleransi, pluralitas,
menjunjung tinggi dan hak asasi manusia dan berkeadilan sosial.
Ketika menjabat sebagai ketua Gerakan Masyarakat Madani,
Profesor DR. Emil Salim (199?) pernah mengatakan bahwa Masyarakat
Madani sebenarnya telah ada di Indonesia.
“Wujud Masyarakat Madani sesungguhnya telah tertanam dalam
masyarakat paguyuban yang dominan dimasa lalu, ketika kelompok
masyarakat berkedudukan sama dan mengatur kehidupan bersama
secara musyawarah. Perkembangan masyarakat patambayan
memerlukan pembaharuan dalam pendekatan melalui antara lain
pengembangan masyarakat madani dengan kedudukan sama bagi
semua kelompok masyarakat dan kehidupan bersama diatur malalui
lembaga-lembaga perwakilan”.
Menurut Profesor Emil Salim, substansi Masyarakat Madani telah
lama ada dalam etika sosial politik masyarakat Indonesia yang
berkembang dalam kultur masyarakat Indonesia, hak dan kedudukan
yang sama (egaliterainisme) serta budaya sosial politik yang
mengedepankan mekanisme musyawarah dalam penyelenggaraan
kehidupan sosial dan politik merupakan budaya masyarakat Indonesia
yang menonjol. Dalam perspektif civil society (barat) mekanisme
musyawarah dalam menyelesaikan masalah merupakan salah satu
prosedur demokrasi yang substantif.
Bila konstruk masyarakat madani dalam perspektif Profesor Emil
Salim diatas dilihat melalui perspektif civil society, maka agaknya Emil
Salim memiliki kesamaan pandangan dengan mereka yang mengatakan
bahwa Egaliterianisme dan musyawarah dalam pengambilan keputusan
Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
12
yang tidak lain dari karakteristik demokrasi merupakan ciri pokok
Masyarakat Madani.
Sementara Dato Seri Anwar Ibrahim(1994 : 22) yang sering disebut
sebagai pengusung istilah masyarakat madani di Indonesia
menggambarkan masyarakat madani sebagai
“Sistem sosial yang subur yang diasaskan atas moral yang menjamin
keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kesetabilan
masyarakat. Masyarakat yang mendorong daya usaha serta inisiatif
individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan, pemerintahan
mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu
menjadikan keterdugaan atau predectability serta kelulusan atau
tranparancy system
Anwar Ibrahim juga menyebut definisi negatif, dengan melukiskan
gambaran nyata yang bertentangan dengan ciri-ciri masyarakat madani.
“Kemelut yang diderita umat manusia seperti meluasnya keganasan,
sikap melampaui batas dan tidak tasamuh ; kemiskinan dan kemelaratan,
ketidakadilan dan kebejatan sosial, kejahilan, kelesuan intelektual serta
kemuflisan budaya adalah manifestasi kritis masyarakat madani.
Kemelut ini kita saksikan di kalangan masyarakat Islam, baik di Asia
maupun di Afrika, seolah-olah umat terjerumus dalam suatu kezaliman
; kezaliman akibat kediktatoran atau kezaliman yang timbul dan
runtuhnya atau ketiadaan orde politik serta peminggiran rakyat dari
proses politik”.
Karakteristik masyarakat madani dalam pandangan Anwar
Ibrahim adalah berkembangnya iklim demokrasi berupa kebebasan
berpendapat dan bertindak baik secara individual maupun kolektif yang
bertanggung jawab sehingga tercipta keseimbangan antara implementasi
kebebasan individu dan kesetabilan sosial, penyelengaraan pemerintahan
yang didasarkan atas undang-undang serta transparansi. Menurutnya
masyarakat Islam di Asia dan Afrika masih jauh dari ciri-ciri masyarakat
madani, karena masih adanya sikap tidak tasamuh (toleran), kemiskinan,
ketidak-adilan, kezaliman, ketidak-tatanan, ketidaktataran dan
pemiggiran rakyat dari proses politik.
Dalam ceramahnya pada Festival Istiqlal 26 September 1995,
Anwar Ibrahim kemudian secara rinci menjelaskan karakteristik
masyarakat madani dalam kehidupan kontemporer dewasa ini, seperti
misalnya jamak budaya (multi-etnis), kesalingan (reciprocity), dan
kesediaan untuk saling menghargai dan memahami (lita’arafu).
Masyarakat demikian menurutnya meruapakan “guiding ideas”,
meminjam istilah Malik Ben Nabi, dalam melaksanakan ide-ide yang
mendasari masyarakat madani, yaitu perinsip moral, keadilan,
keseksamaan, ,musyawarah dan demokrasi.
13
Volume 4, Nomor 1, Juni 2008
Dari penjelasan Anwar Ibrahim ini, bisa dipahami bahwa
sebenarnya ide-ide masyarakat madani bertolak dari konsep civil society.
Tapi Anwar Ibrahim juga menemukannya dalam konsep yang disebut
Gelner dengan “High Islam”, budaya tinggi Islam yang juga beroperasi
dalam sejarah Islam Asia Tenggara di kalangan Muslim Melayu Inonesia.
Memang seperti yang dikatakan Doglas Sarmatche, bahwa civil society
adalah bagian dari sejarah Eropa Barat dan kemudian ditarik menjadi
bangunan teoritik dan paradigma yang dipakai sebagai kerangka untuk
memahami perubahan-perubahan sosial dimasa transisi dari masyarakat
yang feodal ke masyarakat yang lebih kompleks, modern(Dawam Raharjo,
1999:25).
Sedangkan civil society dalam konsep barat sendiri ide pertamanya
dilemparkan oleh Cicero pada abad pertama SM, ditemukan kembali oleh
Adam Perguson pada abad ke 17. Menurutnya civil society adalah sebuah
tata susila (civility) sebagai konsekuensi dari sebuah peradaban. Tapi dalam
definisi yang dirumuskannya civil society dipakai sebagai istilah politik
untuk menggambarkan sebuah pemerintahan yang membedakan diri dari
despotisme oriental (Oriental Despotism). Dalam konotasi ekonomi civil
society dilawankan dengan masyarakat bar-bar yang tidak mengakui hak
milik. Sementara Filsuf social Itali Gramsci, mengidentifikasi civil society
sebagai hegemoni kultural yang diproduksi oleh Gereja, media massa dan
lembaga pendidikan (Dawam Raharjo, 1999: 34).
Ide civil society sesungguhnya bukan satu bentuk yang tunggal,
namun sering digunakan untuk tiga hal yang berbeda, meskipun dalam
beberapa hal terjadi overlapping, sebagaimana dikemukakan oleh Seligman
dalam Qodri Azizy (2003:129-130), sebagai berikut:
Pertama, istilah civil society digunakan untuk selogan politik, yakni
sebagai selogan gerakan dan partai yang bermacam-macam. Sementara
di Barat dengan dalih perwujudan istilah tersebut, dikembangkan
kebebasan untuk mengeritik kebijaksanaan pemerintah. Kedua, civil
society digunakan oleh ilmuan sebagai analisis yaitu menjelaskan bentuk
organisasi sosial atau fenomena sosial. Kini lebih dikenal untuk
menjelaskan bentuk organisasi sosial kaitannya dengan demokrasi dan
kewarganegaraan. Ketiga, merupakan istilah yang berkaitan dengan
konsep-konsep normatif yang filosofis sebagai konsep ideal yang etis,
yakni suatu visi keteraturan sosial yang mengarah pada terciptanya
visi kehidupan yang baik.
Berangkat dari kajian terhadap ide-ide dasar masyarakat madani
dan substansi civil society yang berkembang di dunia Eropa (barat), Dawam
Raharjo dalam hal ini berpendapat bahwa substansi masyarakat madani
dalam dunia Islam dan civil society di dunia Barat adalah satu, teori civil
society dapat dipinjam untuk menjelaskan istilah masyarakat madani yang
Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
14
digali dari khazanah sejarah Islam. Senada dengan hal ini Nurcholish
Madjid, sebagaimana dijelaskan dimuka tidak membedakan antara
Masyarakat Madani yang lahir dari khazanah sejarah dan Peradaban Islam
dengan civil society yang lahir dari sejarah Eropa atau Peradaban
Barat.

MANAJEMEN ORGANISASI

NARSISME dalam KEPEMIMPINAN
 
Narsis, sebuah istilah yang mulai sering saya dengar kira-kira 1,5 tahun yang lalu karena saya agak kurang gaul, sehingga telat mengenal istilah-istilah seperti itu, walaupun sebenarnya bukan istilah baru. Sering temen-temen bilang “tuh orang narsis banget” ketika melihat gambar atau foto seseorang yang “di cakep-cakepin” atau “digagah-gagahin” atau semacam itulah kira-kira……Kemudian akhirnya saya memiliki pemahaman bahwa istilah narsis itu digunakan untuk memberikan sebutan kepada seseorang yang suka menonjolkan dirinya lewat penggambaran yang seolah-olah menjadi orang “yang paling…..”.
Ternyata pemahaman saya tersebut tidak sepenuhnya benar, walaupun juga tidak salah. Setelah saya buka kamus, ternyata istilah narsis yang sering saya denger itu berasal dari kata narcissism yang berarti suka membanggakan diri sendiri. Memang secara nyata sifat narsis tidak hanya sebatas pada “tampilan foto/gambar yang di cakep-cakepin…..” saja, tetapi jauh lebih luas dari itu dan menyentuh pada aspek psikologis manusia. Namun orang yang suka berfoto dengan pose yang dibuat-buat biar kelihatan seolah-olah paling keren seperti yang dipasang di profile facebook juga termasuk salah satu bentuk perilaku narsis.
Setelah saya baca-baca berbagai artikel, ternyata istilah narsis (narcissism) diambil dari sebuah mitologi yunani dimana seorang kesatria yang bernama Narcissus (ναρκισσος - NARKISSOS) dan parasnya elok bukan main suka memuja dirinya sendiri dan banyak menolak cinta secara kejam dari para wanita yang mencintainya. Sampai suatu saat dia menolak cinta Echo, yang menyebabkan Echo patah hati, dan Narcissus dikutuk sehingga jatuh cinta pada bayangannya sendiri di air kolam .Tanpa sengaja ia menjulurkan tangannya, sehingga ia tenggelam dan tumbuh bunga yang sampai sekarang disebut bunga narcissus yang saya sendiri juga ndak tahu bentuknya.
Istilah "Narsisme" (dengan mengambil kisah Narcissus) pertama kali digunakan dalam psikologi oleh psikiater Austria Sigmund Freud pada tahun 1890-an untuk menggambarkan sifat manusia yang sangat senang mengagumi/melebih-lebihkan dirinya sendiri. Narsisme adalah salah satu bentuk kesombongan manusia dan beberapa pakar psikoanalis mengkategorikan sifat ini sebagai sebuah penyimpangan psikologis pada manusia.
Berbagai karakteristik kepribadian telah dikaitkan dengan narsis. Sebagai contoh, narsis sering didefinisikan sebagai sibuk dengan mimpi-mimpi kesuksesan, kekuasaan, keindahan, dan kecemerlangan serta mencari perhatian dan kekaguman dari orang lain. Berkaitan dengan hal itu, ancaman terhadap harga diri orang yang narsis sering diikuti dengan perasaan marah, tertantang, malu, dan terhina. Seorang narsis juga cenderung lebih memikirkan hak yang harus mereka terima tanpa memikirkan tanggung jawab yang harus dipikul. Menurut American Psychiatric Association, orang yang narsis rentan terhadap kemarahan, rasa malu, rendah diri, dan penghinaan saat mereka dikritik oleh orang lain.
Orang yang memiliki sifat narsis senang melakukan glorifikasi diri yang biasanya diikuti oleh proses psikologis sebaliknya yakni demonisasi (penyetanan orang lain). Contoh perilaku ini paling gampang ditemukan pada saat menjelang pemilu legislatif dimana semua calon berlomba-lomba memasang gambar dirinya dengan berbagai slogan di setiap tempat. Mereka berlomba-lomba untuk mengatakan bahwa dirinyalah yang paling baik, paling pantas dipilih…. Artinya, caleg yang memuliakan dirinya secara berlebihan telah "menyetankan" caleg lainnya. Mereka melakukan itu dengan menghabiskan biaya yang tidak sedikit, dan kemudian ketika akhirnya tidak terpilih, yang muncul adalah kekecewaan, kemarahan, ke-malu-an dan perasaan terhina, yang ujung-ujungnya terjadi stress atau depresi sehingga menuh-menuhin RSJ.
Sebagai sebuah penyimpangan perilaku psikologis, sifat narsis ini juga perlu diwaspadai oleh mereka-mereka yang menjadi atau bercita-cita menjadi pemimpin, karena perilaku seperti ini akan sangat mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam sebuah organisasi. Makanya temen2 yang merupakan calon-calon pimpinan TNI masa depan jangan suka narsis di facebook.
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh para pakar psikologi, disimpulkan bahwa individu-individu yang memiliki kepribadian narsistik akan membawa dampak yang mendalam atas jalannya sebuah organisasi. Sebagai contoh, para manajer dan supervisor narsistik mungkin memiliki masalah dalam berinteraksi dengan rekan kerja, serta berkomunikasi dengan tingkat yang lebih rendah dan unsur pelaksana. Perilaku seperti itu dapat menyebabkan kurangnya efektifnya proses dalam sebuah organisasi untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Senada dengan hal tersebut, seorang pemimpin yang mempromosikan visi yang berlebihan dan tidak realistis dapat menyebabkan anggota organisasi kesulitan untuk memahami dan merealisasikannya. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan sebuah organisasi tidak hanya lambat dalam mencapai tujuan tertentu, tetapi mungkin dapat membawa kerugian yang lainnya.
Disamping itu, karena kesombongan yang dimiliki, perasaan untuk selalu mendapatkan pelayanan khusus, kurangnya kepedulian terhadap orang lain, serta keinginannya untuk tetap menjadi pusat perhatian, seorang pemimpin yang narsis akan merasa sulit untuk bekerja secara efektif dalam tim (Lubit, 2002). Akhirnya, pemimpin yang narsis tidak hanya melakukan pekerjaan yang buruk pada mengembangkan orang, tetapi mereka “mengasingkan” bawahan sebagai akibat dari devaluasi mereka terhadap orang lain, memaksakan cara mereka sendiri, kurang empati, dan ingin selalu mengeksploitasi orang lain.
Beberapa pakar psikologis telah mencoba mengkaitkan perilaku narsis ini dengan gaya kepemimpinan yang kharismatik. Ternyata keduanya memiliki keterkaitan, walaupun tidak sepenuhnya sama. Menurut teori kepemimpinan, pemimpin yang kharismatik akan lebih mudah menciptakan ikatan emosional dengan anakbuahnya. Anak buah akan mudah terinspirasi secara antusias untuk memberikan ketaatan, kesetiaan, komitmen, dan pengabdian kepada pemimpin dan menyerahkan semua keputusan kepada sang pemimpin karena dianggap segala yang ada pada diri pemimpin sudah mampu mewakili. Menurut Conger dan Kanungo (1994) pemimpin karismatik berbeda dari pemimpin lain karena kemampuan mereka untuk merumuskan dan mengartikulasikan sebuah visi dan inspirasi perilaku dan tindakan yang menumbuhkan kesan bahwa mereka memiliki misi yang luar biasa.
Nadler dan Tushman (1990) juga melihat seorang pemimpin yang kharismatik sebagai seseorang dengan visi (yaitu, mengartikulasikan sebuah visi, menetapkan harapan yang tinggi, dan pemodelan perilaku konsisten), sebuah energizer (yaitu, menunjukkan kegembiraan pribadi, mengungkapkan keyakinan pribadi , dan mencari, menemukan, dan meraih sukses), dan akhirnya, pendukung (yaitu, mengekspresikan dukungan pribadi, berempati, dan mengekspresikan kepercayaan orang). Dalam situasi krisis, sebuah gaya kepemimpinan karismatik dapat meningkatkan respons organisasi untuk kembali ke keadaan operasi normal. Namun, di sisi lain, sebuah gaya kepemimpinan karismatik juga dapat membuahkan bencana bagi karyawan dan organisasi yang tertimpa masalah (Conger & Kanungo, 1998).
Dalam kaitannya dengan perilaku narsis, para pemimpin karismatik dapat rentan terhadap narsisme ekstrem, yang dapat membawa mereka untuk memposisikan diri secara berlebihan. "perilaku pemimpin dapat menjadi berlebihan, kehilangan hubungan dengan realitas, atau menjadi kendaraan untuk keuntungan pribadi murni" (Conger & Kanungo, hal 211). Lebih jauh lagi, narsisme dapat menyebabkan pemimpin karismatik melebih-lebihkan kemampuan mereka dan meremehkan peran serta keterampilan orang lain. Akhirnya, para pemimpin narsistik, yang memiliki perasaan sebagai orang yang paling penting, ditambah dengan kebutuhan untuk menjadi pusat perhatian, akan sering mengabaikan sudut pandang orang lain dalam organisasi, serta pengembangan kemampuan kepemimpinan bagi pengikutnya. Perilaku seperti itu tidak hanya membahayakan diri pemimpin itu sendiri, tetapi juga anakbuah, karyawan perusahaan, serta organisasi yang dipimpinnya.
Sebagai kesimpulan, saya menyarankan kepada rekan-rekan saya, para calon pimpinan TNI masa depan. Belajarlah mulai dari sekarang untuk tidak berperilaku narsis. Penghargaan, rasa hormat, respek, loyalitas dan sejenisnya tidak harus didapatkan dari orang lain dengan cara-cara yang narsis, cara-cara yang melebih-melebihkan diri sendiri seolah-olah kita ini adalah orang “yang paling…..”. Mari kita raih semua itu dengan karya nyata, tidak dengan kepura-puraan. Mari kita kikis secara perlahan-lahan kultur yang terlalu mendewa-dewakan “tampilan luar” sehingga seringkali melupakan inner quality yang lebih substansial untuk diperhitungkan. Janganlah kita bawa arah organisasi ini sesuai dengan keinginan kita (atau suka-suka kita) yang memimpin, tetapi mari kita bawa ke arah yang seharusnya, sesuai dengan norma-norma kehidupan organisasi yang benar karena TNI bukanlah punya kita yang kebetulan memimpin. TNI adalah punya rakyat dan rakyatlah yang sebenarnya memiliki hak untuk menentukan arah jalannya organisasi TNI. Kita hanya mengemudikan ke arah dikehendaki oleh rakyat sambil membenahi semua perangkat yang sudah mulai rusak dan ketinggalan jaman.

Teori DMK Mao je dong

Teori Revolusi Mao Ze Dong : "Desa Mengepung Kota"
Bukalah kembali buku sejarah, pada fase jelang 1965, kosa kata atawa jargon yang sangat familiar dipakai dalam pentas politik kala itu adalah (salah satunya) “Desa Mengepung Kota (DMK)”. Diantara banyak jargon kala itu (Soekarno adalah “master” jargon), jargon revolusi DMK adalah jargon yang selalu dihembuskan oleh PKI. DMK ibarat teori Perang-nya Sun Tzun. DMK identik dengan komunisme, tapi DMK bukanlah jargon produk “mbahnya” Komunis – Karl Marx” atau "Putra Mahkota Marx" Vladimir Ilyich Ulyanov Lenin. Teori "desa mengepung kota" sebenarnya tidak ada hubungannya dengan penyebaran komunisme sebagai suatu ideologi atau sistem politik. Kalau kita tempatkan pada kompleksitas wacana Mao, teori itu merupakan "prinsip militer" (military principle) untuk memenangkan medan laga. Itu dilakukan oleh suatu satuan kekuatan yang lebih lemah melawan satuan-satuan kekuatan yang lebih kuat. Prinsip yang sama dapat dilakukan oleh satuan gerilya di mana pun, tanpa harus mengaitkannya dengan ideologi komunis atau non-komunis. Keberhasilan partisan Perancis dan Itali melawan Hitler pada masa Perang Dunia II, dan sebaliknya kegagalan partisan Polandia, adalah contoh lain penerapan teori desa mengepung kota. Istilah lain yang sering digunakan adalah focoisme, Castroisme dan fidelismo. DMK murni produk dari Mao Ze Dong. Who is He ?

Harus diakui, Mao Zedong memang merupakan fenomena penting dalam perkembangan teori revolusi. Pemikiran-pemikirannya merupakan alternatif bagi revolusi model Soviet yang bertumpu pada kekuatan dan kepemimpinan kaum buruh. Seperti halnya Vladimir Lenin, Mao memang merupakan bagian kecil dari sedikit teoritisi dan sekaligus praktisi revolusi sosialis. Ia mampu mengangkat latar belakang sosial ekonomi dan kultural untuk mendukung obsesi revolusioner. Mao belajar banyak dari Lenin. Mao percaya bahwa partai yang disiplin, kohesif dan didukung struktur kepemimpinan yang hierarkis merupakan syarat berhasilnya revolusi sosialis. Peranan kader partai sebagai penggerak mobilisasi massa menjadi faktor penting.
Dalam pandangan Mao, kegagalan revolusi petani Taiping dan Nien adalah karena tidak adanya ideologi yang sistematik yang memberi pengarahan pada apa yang seharusnya dilakukan oleh para petani.

Namun berbeda dengan Lenin, Mao telah menjadi revolusioner jauh sebelum menjadi seseorang yang meneguk Marxisme. Sebab itu, ia bukanlah teoritisi yang konservatif dalam menafsirkan ajaran Marxisme, bahkan ia memberi kesan sangat anti-dogmatis. Ia sengaja menafsirkan proletariat dari padananya dalam bahasa Cina, wu-chan chieh-chi (lapiasan sosial yang hanya memiliki sedikit harta), dan sampai pada kesimpulan bahwa petani dapat menjadi kekuatan revolusioner. Sebelum berhasilnya revolusi Cina, kaum Marxis memandang rendah pada potensi kaum tani sebagai penyanggah utama revolusi. Gagasan-gagasan dan politik Mao bukan saja mengawali pertikaian Sino-Soviet selama lebih dari tigapuluh tahun, tetapi juga memberikan harapan baru di beberapa negara berkembang.

Satu hal yang mungkin menyebabkan Mao "lebih besar" dari Lenin adalah gagasannya mengenai "perang gerilya". Teori desa mengepung kota yang dikemukakan tahun 1927 mempunyai banyak penganut. Che Guevara dan Fidel Castro, dalam Revolusi Kuba pada penghujung 1950-an, serta Regis Debray di Aljazair menggunakan teori yang sama. Di Indonesia, Dipa Nusantara Aidit mencoba menerapkan dan memperkaya teorinya di awal dasawarsa 1960-an. Dengan beberapa modifikasi, apa pun namanya, prinsipnya serupa, yaitu menciptakan kekacauan di desa-desa kecil untuk pada akhirnya menumbangkan kekuasaan pusat. Castro dan Che Guevera baru saja melumpuhkan pemerintahan Batista di Havana setelah menguasai Sierra Maestra dan Santiago. Seperti terlihat dalam Resolusi 5 Oktober 1928, Mao mengakui bahwa Cina adalah kasus tersendiri. Ia mengatakan bahwa desa mengepung kota hanya dapat dilakukan di suatu negara yang secara ekonomi terbelakang dan berada di bawah pemerintahan tidak langsung (indirect rule) penguasa kolonial atau rezim yang sedang mengalami fragmentasi elit. Tulisan-tulisan Mao tahun 1926-1927 disunting kembali dengan menambahkan semangat ideologi.
Mulai muncul istilah-istilah "di bawah kepemimpinan partai komunis". Untuk pertama kalinya Mao mengakui peranan pemberontakan Taiping sebagai inspirasi teori Mao. Namun pada saat yang sama, ia juga menghapus fakta sejarah, misalnya mengganti istilah "berjuang karena upah" dengan "berjuang karena kesadaran". Semua itu barangkali merupakan keinginan Mao untuk menggunakan revolusi Cina sebagai model revolusi sosialis di negara-negara berkembang, selain untuk mendapat tempat tersendiri dalam sejarah Cina.

Tentu saja ada beberapa kontribusi Mao, dan kemudian Lin Bao, pada teori perang gerilya. Menurut Mao, ada tiga syarat yang diperlukan agar "kepungan" itu berhasil. Pertama, pelaksanaan teori itu memerlukan basis geografis yang aman. Jika tidak, pasukan inti dan kader bersenjata tidak akan dapat mengangkat kekacauan itu menjadi sesuatu yang lebih besar. Usaha Mao untuk mengorganisir revolusi dalam dasawarsa 1930-an gagal karena basis gerakannya, Kiangshi (di lembah Yangtze), tidak aman dari pukulan-pukulan pasukan Chiang Kaishek. Mao terpaksa memindahkan markas Partai Komunis Cina dari Kiangshi. Secara militer, perjuangan Mao baru berhasil setelah melakukan long march ke Shensi yang dilindungi oleh perbukitan sulit Mongolia Utara yang berada di bawah kekuasaan Uni Soviet. Hijrah yang menempuh jarak ratusan kilometer itu bukan hanya mampu mengundang simpati rakyat. Tetapi juga memancangkan Mao sebagai praktisi revolusi terbesar abad 20.

Kedua, teori desa mengepung kota hanya dapat terjadi di negara yang besar dan dengan jaringan komunikasi yang buruk. Mao berulangkali menekankan faktor ini dalam tulisan-tulisannya. Ia mengakui bahwa dalam sebuah negara yang kecil, atau di suatu negara yang memiliki jaringan komunikasi yang baik sehingga pemerintah dengan mudah dapat melakukan mobilisasi kekuatan, strateginya menjadi tidak efektif. Karena menguasai dengan baik medan lokal, termasuk memperoleh dukungan luas dari masyarakat setempat, komunikasi yang buruk akan membendung penetrasi pihak penguasa. Ketiga, yang tampaknya merupakan sumbangan terbesar Mao, keberhasilangerilya mengepung kota memerlukan ideologi yang sistematik. Di sini Mao memperoleh inspirasi yang kuat dari Lenin dan sekaligus mengawinkannya dengan sejarah Cina. Penting adalah kepemimpinan Partai yang mampu membangkitkan kesadaran dan memimpin ke mana rakyat harus menuju perjuangannya. Tanpa ideologi, kekecewaan masyarakat hanya akanmuncul dalam bentuk goyangan-goyangan spontan, sporadis dan tidak berjangka lama. Mao sendiri merujuk pada pemberontakan petani Taiping dan Nien (1850-1866) sebagai contoh revolusi petani yang gagal.

Kombinasi antara ketiga persyaratan itu membuahkan teori besar yang ternyata sangat ampuh, seperti kemudian terlihat dari keberhasilan Mao mengalahkan Chiang Kai-shek dan penjajah Jepang. Maois percaya bahwa kader partai dapat mengawali terjadinya perang gerilya. Sekalipun demikian, keberhasilan mereka sangat tergantung pada kemampuan mereka memperoleh dukungan masyarakat. Komunis Spanyol mampu bertahan untuk beberapa tahun di Aragon (1945) tetapi mereka tidak mampu bertahan lebih lama karena tidak memperoleh dukungan yang meluas. Di Aljazair, Regis Debray gagal memetik kemenangan yang berarti. Kegagalan yang sama dialami oleh gerilyawan Kikuyu (Kenya) dan Cina (Malaya). Sebagai bagian dari perang gerilya, pilar penting dari desa mengepung kota adalah dukungan masyarakat setempat. Mereka, seperti dikatakan Che Guevara, "mempunyai banyak teman, mengerti kepada siapa harus mencari pertolongan, menguasai medan laga, dan memiliki ekstraantusiasme untuk mempertahankan tanahnya". Namun jika gerilya itu merupakan perpaduan kekuatan antara "kader luar" dan masyarakat lokal, keberhasilannya akan ditentukan oleh seberapa jauh hubungan mereka kohesif. Ini hanya dapat dibangun dengan pendidikan yang sistematik, baik dalam pendidikan sosial maupun militer. Kader harus mampu melakukan lebih banyak dari sekedar bertempur dan memberi petunjuk-petunjuk ideologis, tetapi dituntut juga untuk melibatkan diri dalam kehidupan masyarakat. Dalam sejarah perang gerilya menumbangkan penjajah Belanda, kita juga sering mendengar cerita mengenai hubungan yang karib antara "tentara" dengan rakyat. Perbedaan anatara gerilya nasional dengan gerilya komunis barangkali hanya terletak pada metode yang digunakannya untuk menggalang massa. Aidit, pada awal 1960-an, menekankan pada unsur agitasi untuk mendapatkan dukungan itu.

Tidak mudah menelusuri apakah "desa mengepung kota" sekedar merupakan teori militer untuk mengalahkan pihak lawan yang jauh lebih kuat atau dapat digunakan untuk mencapai tujuan politik terbentuknya suatu negara [komunis] dengan kader anti-establishment yang menggunakan cara-cara clendestine. Mao telah menunjukkan kepada dunia betapa kreatifitas memainkan peranan penting dalam mencapai tujuan. Dogmatisme, ortodoksi dan konservatisme dalam memegang suatu gagasan akan mencapai kegagalan. Teori Mao pun mengalami perkembangan dan bukan hanya meliputi strategi militer. Lin Bao menggunakan istilah yang sama dalam konteks politik internasional dengan mengindentisifikasikan negara-negara berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Latin sebagai "kampung" dan negara-negara maju sebagai "kota". Hal yang sebaliknya dapat terjadi, menimbulkan kekacauan di desa-desa untuk merongrong legitimasi dan otoritas pemerintah pusat.

Anti-komunisme merupakan sumber legitimasi kepemimpinan dan sekaligus justifikasi kebijakan Orde baru. Karena itu dapat dimengerti jika "hantu komunis" secara berulang muncul kembali. Apakah hantu itu merupakan sosok yang nyata atau bayangan, merupakan masalah yang kurang penting. Sekalipun demikian, jika stabilitas politik ingin tetap dipertahankan, sebenarnya perlu mendapatkan diagnosis yang tepat mengenai mengapa terjadi kerusuhan massal. Tanpa diagnosis yang tepat, seorang dokter akan keliru memberikan terapi. Sayangnya, memberikan diagnosis tidak selalu mudah. Gejala yang sama mungkin timbul dari sebab yang berbeda. Yang menjadi tantangan pokok bagi setiap rejim anti-komunis adalah bagaimana membuat agar gagasan komunis tidak mendapat kesempatan untuk tumbuh. Salah satu daya tarik teori Marxis, termasuk di dalamnya gagasan-gagasan Mao, adalah janjinya untuk menciptakan masyarakat tanpa kelas. Dengan kata lain, gagasan Marxis mungkin muncul justru karena kesenjangan sosial. Tentu tidak sebaliknya berlaku. Artinya, terlalu simplistis mengatakan bahwa mereka yang memperjuangkan pemerataan ekonomi dan keadilan sosial selalu diilhami oleh ideologi Marxis. Gagasan yang sama, pertentangan antara masyarakat tertindas dengan penindas, dapat ditemukan pula di kalangan berbagai paham keagamaan. Stabilitas politik tidak perlu terancam jika gagasan untuk mencapai pemerataan dan keadilan itu dicapai melalui cara-cara demokratik seperti dilakukan oleh Partai Komunis dan Sosialis di Eropa Barat atau melalui cara kekerasan seperti yang dilakukan oleh Lenin dan Mao.

Perjalanan Hidup Che Guevara

Historis Singkat Che Guevara
Ernesto Guevara Lynch de La Serna (lahir di Rosario, Argentina, 14 Juni 1928 – meninggal di Bolivia, 9 Oktober 1967 pada umur 39 tahun) adalah pejuang revolusi Marxis Argentina dan seorang pemimpin gerilya Kuba.

Guevara dilahirkan di Rosario, Argentina, dari keluarga berdarah campuran Irlandia, Basque dan Spanyol. Tanggal lahir yang ditulis pada akta kelahirannya yakni 14 Juni 1928, namun yang sebenarnya adalah 14 Mei 1928.

Masa kecil

Sejak usia dua tahun Che Guevara mengidap asma yang diderita sepanjang hidupnya. Karena itu keluarganya pindah ke daerah yang lebih kering, yaitu daerah Alta Gracia (Córdoba) namun kesehatannya tidak membaik. Pendidikan dasar ia dapatkan di rumah sebagian dari ibunya, Celia de la Serna. Pada usianya yang begitu muda, Che Guevara telah menjadi seorang pembaca yang lahap. Ia rajin membaca literatur tentang Karl Marx, Engels dan Sigmund Freud yang ada di perpustakaan ayahnya. Memasuki sekolah menegah pertama (1941) di Colegio Nacional Deán Funes (Córdoba). Di sekolah ini dia menjadi yang terbaik di bidang sastra dan olahraga. Di rumahnya, Che Guevara tergerak hatinya oleh para pengungsi perang saudara Spanyol, juga oleh rentetan krisis politik yang parah di Argentina. Krisis ini memuncak di bawah pemerintahan diktator fasis kiri, Juan Peron, seorang yang ditentang Guevara. Berbagai peristiwa tertanam kuat dalam diri Guevara, ia melihat sebuah penghinaan dalam pantomim yang dilakonkan di Parlemen dengan demokrasinya. Maka muncul pulalah kebenciannya akan politisi militer beserta kaum kapitalis dan terutama kepada dolar Amerika Serikat ,yang dianggap sebagai lambang kapitalisme.

Meski demikian dia sama sekali tidak ikut dalam gerakan pelajar revolusioner. Ia hanya menunjukkan sedikit minat dalam bidang politik di Universitas Buenos Aires, (1947), tempat ia belajar ilmu kedokteran. Pada awalnya ia hanya tertarik memperdalam penyakitnya sendiri, namun kemudian dia tertarik pada penyakit kusta.

Berkeliling Argentina dengan sepeda motor

Pada tahun 1949 ia memulai perjalanan panjangnya yang pertama, menjelajahi Argentina Utara hanya dengan bersepeda motor. Itulah untuk pertama kalinya ia bersentuhan langsung dengan orang miskin dan sisa suku Indian. Selanjutnya pada tahun 1951 setelah menempuh ujian-ujian pertengahan semester Che mengadakan perjalanan yang lebih panjang didampingi dengan seorang teman dan untuk nafkah hidupnya dia bekerja sebagai pekerja paruh waktu. Ia mengunjungi Amerika Selatan, Chili di mana dia bertemu Salvador Allende, dan di Peru ia bekerja sama selama beberapa minggu di Leprasorium San Pablo, di Kolombia ia tiba pada saat La Violencia, di Venezuela ia ditangkap tetapi dilepaskan kembali, kemudian ia juga mengunjungi Miami. Che Guevara mengisahkan perjalanannya dalam buku harian yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku dengan judul Buku Harian Sepeda Motor (The Motorcycle Diaries), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada 1996 dan kemudian difilmkan dengan judul yang sama pada 2004.


Perjalanan Che Guevara

Ia kembali ke daerah asalnya dengan sebuah keyakinan bulat atas satu hal bahwa ia tidak mau menjadi profesional kelas menengah dikarenakan keahliannya sebagai seorang spesialis kulit. Kemudian pada masa revolusi nasional ia pergi ke La Paz, Bolivia di sana ia dituduh sebagai seorang oportunis. Dari situ ia melanjutkan perjalanan ke Guatemala dan mencukupi kebutuhan hidupnya dengan menulis artikel arkeologi tentang reruntuhan Indian Maya dan Inca. Guatemala saat itu diperintah oleh Presiden Jacobo Arbenz Guzman yang seorang sosialis. Meskipun Che telah menjadi penganut paham marxisme dan ahli sosial Lenin ia tak mau bergabung dalam Partai Komunis. Hal ini mengakibatkan hilangnya kesempatan baginya untuk menjadi tenaga medis pemerintah, oleh karena itu ia menjadi miskin. Ia tinggal bersama Hilda Gadea, penganut paham Marxis keturunan Indian lulusan pendidikan politik. Orang inilah yang memperkenalkannya kepada Nico Lopez, salah satu Letnan Fidel Castro. Di Guatemala dia melihat kerja agen CIA sebagai agen kontrarevolusi dan semakin yakin bahwa revolusi hanya dapat dilakukan dengan jaminan persenjataan. Ketika Presiden Arbenz turun jabatan, Guevara pindah ke Kota Mexico (September 1954) dan bekerja di Rumah Sakit Umum, diikuti Hilda Gadea dan Nico Lopez. Guevara bertemu dan kagum pada Raúl Castro dan Fidel Castro juga para emigran politik dan ia menyadari bahwa Fidel-lah pemimpin yang ia cari.
[sunting] Bergabung dengan Fidel Castro di Kuba

Ia bergabung dengan pengikut Castro di rumah-rumah petani tempat para pejuang revolusi Kuba dilatih perang gerilya secara keras dan profesional oleh kapten tentara Republik Spanyol Alberto Bayo, seorang pengarang "Ciento cincuenta preguntas a un guerilleo" (Seratus lima puluh pertanyaan kepada seorang gerilyawan) di Havana, tahun 1959. Bayo tidak hanya mengajarkan pengalaman pribadinya tetapi juga ajaran Mao Ze Dong dan Che (dalam bahasa Italia berarti teman sekamar dan teman dekat) menjadi murid kesayangannya dan menjadi pemimpin di kelas. Latihan perang di tanah pertanian membuat polisi setempat curiga dan Che beserta orang-orang Kuba tersebut ditangkap namun dilepaskan sebulan kemudian.

Pada bulan Juni 1956 ketika mereka menyerbu Kuba, Che pergi bersama mereka, pada awalnya sebagai dokter namun kemudian sebagai komandan tentara revolusioner Barbutos. Ia yang paling agresif dan pandai dan paling berhasil dari semua pemimpin gerilya dan yang paling bersungguh-sungguh memberikan ajaran Lenin kepada anak buahnya. Ia juga seorang yang berdisiplin kejam yang tidak sungkan-sungkan menembak orang yang ceroboh dan di arena inilah ia mendapatkan reputasi atas kekejamannya yang berdarah dingin dalam eksekusi massa pendukung fanatik presiden yang terguling Batista. Pada saat revolusi dimenangkan, Guevara merupakan orang kedua setelah Fidel Castro dalam pemerintahan baru Kuba dan yang bertanggung jawab menggiring Castro ke dalam komunisme yang menuju komunisme merdeka bukan komunisme ortodoks ala Moskwa yang dianut beberapa teman kuliahnya. Che mengorganisasi dan memimpin "Instituto Nacional de la forma Agraria", yang menyusun hukum agraria yang isinya menyita tanah-tanah milik kaum feodal (tuan tanah), mendirikan Departemen Industri dan ditunjuk sebagai Presiden Bank Nasional Kuba dan menggusur orang orang komunis dari pemerintahan serta pos-pos strategis. Ia bertindak keras melawan dua ekonom Perancis yang beraliran Marxis yang dimintai nasehatnya oleh Fidel Castro dan yang menginginkan Che bertindak lebih perlahan. Che pula yang melawan para penasihat Uni Soviet. Dia mengantarkan perekonomian Kuba begitu cepat ke komunisme total, menggandakan panen dan mendiversifikasikan produksi yang ia hancurkan secara temporer.

Pernikahan Che Guevara

Pada tahun 1959, Guevara menikahi Aledia March, kemudian berdua mengunjungi Mesir, India, Jepang, Indonesia yang juga hadir pada Konfrensi Asia Afrika, Pakistan dan Yugoslavia. Sekembalinya ke Kuba ia diangkat sebagai Menteri Perindustrian, menandatangani pakta perdagangan (Februari 1960) dengan Uni Soviet yang melepaskan industri gula Kuba pada ketergantungan pasar Amerika. Ini merupakan isyarat akan kegagalannya di Kongo dan Bolivia sebuah aksioma akan sebuah kekeliruan yang tak akan terelakkan. "Tidaklah penting menunggu sampai kondisi yang memungkinkan sebuah revolusi terwujud sebab fokus instruksional dapat mewujudkannya" ucapnya dan dengan ajaran Mao Ze Dong ia percaya bahwa daerah daerah pasti membawa revolusi ke kota yang sebagian besar penduduknya adalah petani. Juga pada saat ini ia menyebarkan filosofi komunisnya (diterbitkan kemudian dalam "The Socialism and Man in Cuba", 12 Maret 1965). Ia meringkas pahamnya menjadi "Manusia dapat sungguh mencapai tingkat kemanusiaan yang sempurna ketika berproduksi tanpa dipaksa oleh kebutuhan fisiknya sehingga ia harus menjual dirinya sebagai barang dagangan".